Akrobatik Politik dan Politik Kebangsaan
ILUSTRASI akrobatik politik dan politik kebangsaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Tampaknya para elite parpol tidak memikirkan sepenuhnya dampak dari sikap dan perilaku akrobat yang mereka lakukan. Bagi mereka, yang penting mendapatkan posisi dan peluang kekuasaan yang diharapkan tercapai.
Cara berpikirnya sangat pragmatis, jauh dari idealis seperti saat menjadi aktivis mahasiswa.
Cara berpikir pragmatis demikian seperti sinetron politik yang menyuguhkan tontonan akrobatik para politikus dalam jagat perpolitikan di Indonesia. Mereka sibuk dengan peran masing-masing.
Sebagaian di antara para pemirsa yang mengikuti alur cerita sinetron mengelus dada sambil bergumam dalam hati: mengurus negara dibuat main-main. Sebagian acuh tak acuh karena bosan melihat tingkah laku para elite. Sebagian lainnya bahkan merasa kecewa dan menyesal pernah memilihnya.
Para elite politik yang sering bermain akrobat politik bagaikan sinetron tampaknya akan terus mewarnai jagat perpolitikan di Indonesia. Melihat fakta demikian, masih adakah harapan bangsa ke depan menjadi bangsa yang besar, maju, adil, dan makmur kalau para elite lebih senang bermain sinetron politik?
Seperti yang dimaklumi, sinetron merupakan wacana atau tiruan atas realitas sosial. Sinetron menyajikan sudut pandang dan variabel sosial terkini, mengandung pesan respons terhadap perubahan sebuah persepsi dan hubungan antarvariabel sehingga pemirsa atau penonton menjadi sadar atas adanya varian pilihan yang bertentangan.
Akrobatik politik yang dilakukan para elite politik sering mengabaikan pertimbangan utama sosok calon pemimpin, yaitu karakter dan integritas. Para elite politik umumnya berpikir sangat pragmatis.
Dalam konteks perpolitikan, aturan pemilu yang berkaitan dengan syarat usia dan batas minimum dalam pencalonan (threshold) telah membuat situasi perpolitikan di Indonesia menjadi pragmatis.
Putusan MK No 60 dan 70 Tahun 2024 memberikan angin segar terhadap wajah demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik karena memberikan kesempatan kepada partai politik leluasa mengusung calon yang tidak harus didukung partai politik yang ada di parlemen.
Bahkan, calon independen dapat juga mengusungnya. Akan tetapi, dalam praktiknya, diperlukan perjuangan panjang dan ekstra karena yang ada saat ini sebagian pemimpin dilahirkan dari partai politik yang bersifat pragmatis.
Putusan MK bagaikan petir di siang bolong yang membuat sebagian peserta koalisi partai politik berubah haluan. Fakta demikian di antara contoh betapa pragmatisnya partai politik dalam mengusung calon dalam suksesi kepemimpinan pilkada.
Sebagian pemimpin yang dilahirkan dari partai politik bersifat sektarian karena yang bersangkutan memiliki kontrak-kontrak politik (transaksional) yang harus dipenuhi sebagai balas budi.
Elite politik yang berasal dari partai politik yang berhasil diantarkan menjadi seorang pemimpin oleh parpol bagaikan pemilik warung prasmanan yang menyuguhkan berbagai menu atau hidangan untuk disuguhkan kepada para tamu yang notabene para elite parpol yang mengusungnya.
Hidangan prasmanan tersebut dapat berupa jabatan, proyek, peluang bisnis, dan kemudahan lainnya tanpa mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku. Dari sanalah embrio perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) biasanya dimulai.
Hal itu berbeda dengan pemimpin yang dilahirkan dari aspirasi rakyat yang tidak berbasis pada kepentingan parpol. Mereka memiliki komitmen kepada bangsa dan negara secara total karena yang menjadi orientasi kepemimpinannya adalah kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, kelompok, dan partai politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: