Bayi Dibuang di Taman Pinggir Kali Ancol, Bau Minyak Telon

Bayi Dibuang di Taman Pinggir Kali Ancol, Bau Minyak Telon

ILUSTRASI bayi yang dibuang di taman pinggir Kali Ancol itu bau minyak telon. Saat ditemukan, ia sedang tertidur dan sepertinya baru saja diletakkan seseorang.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Di usia remaja, anak sudah paham bahwa masturbasi itu terkait hubungan seksual dengan lawan jenis. Mereka jadi kepo soal hubungan seks. Mereka berfantasi.

Tapi, remaja tidak langsung melakukan hubungan seks. Mereka takut pada ajaran agama, juga ortu, serta guru. Mereka ingin mencoba hubungan seks, mereka sangat kepo, tapi tertahan oleh norma-norma agama, aturan ortu, pengawasan guru di sekolah.

Seiring perkembangan usia, menjelang memasuki usia 20-an, rasa kepo berhubungan seks makin menjadi. Hormon di tubuh mereka mendesak untuk mencoba. Di sinilah bahaya. Norma agama, aturan ortu, pengawasan guru, di mata anak jadi penghalang desakan hormon yang tidak bisa mereka padamkan. Bahkan, mereka tidak tahu mengapa mereka jadi sangat kepo.

American Psychological Association menyebutkan, di Amerika Serikat (AS), lebih dari 50 persen anak berperilaku seksual sebelum usia 13 tahun (sekitar masa pubertas) termasuk pengalaman seksual dengan anak-anak berjenis kelamin lain. Di Indonesia, belum pernah diriset. Mungkin belum sampai segitu, anak belum berhubungan seks di usia tersebut. 

Usia 17 sampai 20 tahun adalah era pemberontakan anak. Itu era sangat berbahaya. Di situ norma agama, aturan ortu, pengawasan guru bisa jebol oleh dahsyatnya desakan hormon remaja, bersamaan dengan era pemberontakan anak. Jebol dalam arti mereka berhubungan seks dengan lawan jenis. Walaupun di mata ortu, mereka tetap taat beragama. Tetap agamais.

Kalau sudah berhubungan seks, berarti bisa hamil. Kalau sudah hamil, mereka (perempuan) panik. Karena aborsi di Indonesia adalah ilegal. Kehamilan mustahil dihilangkan. Hari ke hari makin panik, sementara usia kandungan terus membuncit. Akhirnya melahirkan.

Uraian American Psychological Association itu logis. Berdasar riset di sana. Itu belum dimasukkan intervensi video porno pada anak-anak. Itu baru perilaku normal rata-rata anak di sana. Bahwa uraian itu ditentang masyarakat Indonesia, ya wajar bagi masyarakat tradisional Indonesia. Idealnya hasil riset dibalas riset. Bukan omongan doang. Tapi, di sini riset begituan kan tabu.

Beberapa riset, sejumlah siswa SMA di Indonesia yang mengaku sudah berhubungan seks menimbulkan heboh. Heboh dalam arti penolakan massa atas hasil riset. Maunya ortu tradisional: hasil riset itu tidak benar. 

Padahal, pelajar SMA yang mengaku pernah berhubungan seks adalah mereka yang terlalu berani terbuka pada tim periset karena responden bersifat anonim. Sedangkan mereka yang tidak berani mengaku terbuka, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka mengumpet. Sebab, mayoritas anak-anak meniru ortu mereka yang tradisional. Meski anak-anak itu terpelajar.

Tapi, jumlah remaja yang pernah berhubungan seks di Indonesia tidak banyak dari segi persentase.

Berdasar hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2020, jumlah gen Z (lahir tahun 1997 hingga 2012) tercatat 74,93 juta jiwa atau 27,94 persen dari populasi. Dari jumlah itu, (diperkirakan) puluhan ribu (tidak ada riset akurat) yang pernah berhubungan seks. 

Katakanlah ada 75.000 remaja Indonesia pernah berhubungan seks. Itu cuma 0,1 persen dari jumlah gen Z berdasar hasil riset BPS. Nol koma satu persen berjumlah segitu. 

Lagi pula, berhubungan seks punya daya magnet adiktif sangat kuat sehingga sangat mungkin berulang. Walaupun diam-diam, sembunyi-sembunyi, jangan sampai ortu tahu.

Berhubungan seks bisa disembunyikan, tapi kehamilan pasti melahirkan. Karena disembunyikan dan pasti melahirkan itulah, jalan keluar terbaik adalah menggeletakkan bayi di bangku taman di pinggir Kali Ancol. Jadi, dari perspektif pembuang bayi, perilaku mereka praktis logis. Terhindar dari risiko pengucilan sosial. Atau dilaknat masyarakat.

Pertanyaannya, siapa yang bakal merawat ribuan bayi terbuang itu? Mungkin pasutri yang tak bisa punya anak. Tapi, mungkinkah mereka mampu menyayanginya sebagaimana anak biologis? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: