Dua Kekerasan di Sekolah oleh Guru pada Murid, Kualitas Perlindungan Anak Dipertanyakan

Dua Kekerasan di Sekolah oleh Guru pada Murid, Kualitas Perlindungan Anak Dipertanyakan

Dalam beberapa hari belakangan berseliweran pemberitaan seputar kekerasan pada anak yang pelakunya adalah guru sekolah kepada muridnya. Para siswa ini telah menjadi korban dari hukuman guru yang bersikap berlebihan. --

HARIAN DISWAY - Dalam beberapa hari belakangan berseliweran pemberitaan seputar kekerasan pada anak yang pelakunya adalah guru sekolah kepada muridnya. Para siswa ini telah menjadi korban dari hukuman guru yang bersikap berlebihan.

Padahal hanya karena masalah yang tidak sebanding dengan hukumannya. Semula guru yang memberikan hukuman fisik itu ingin memberikan efek jera bagi yang melanggar peraturan. Namun, tidak wajar jika hukuman itu merenggut nyawa.

Berbagai aksi kekerasan di sekolah terungkap hingga terekspos di berbagai media. Salah satunya kasus kekerasan yang terjadi pada seorang santri di Blitar yang masih berusia 14 tahun. Hanya karena siswa berinisial KAF ini tidak segera salat Duha.

BACA JUGA: Kemenag Apresiasi 5 Rekomendasi Pansus Angket Haji, Tekankan Perbaikan Regulasi

Karena kesal, anak ini dilempar kayu berpaku oleh ustaznya. Paku itu tertancap di belakang kepala santri hingga akhirnya ia dinyatakan meninggal setelah melakukan perawatan di rumah sakit. Sayang, keluarga korban tidak bersedia membuat laporan.

Hingga polisi mengambil tindakan untuk memproses hukum tanpa perlu menunggu laporan keluarga. Kasus ini mengundang banyak komentar yang dibarengi rasa miris, kasihan, hingga emosi. Seharusnya peristiwa itu tidak terjadi di ruang sekolah.

Memang menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi anak sesulit itu. Bahkan di lingkungan orang-orang berpendidikan. Kekerasan di sekolah juga terjadi di Serdang. Dialami oleh anak SMP yang dihukum 100 kali squat oleh gurunya.

BACA JUGA: Pilkada Serentak dan Pemberantasan Korupsi

Hanya lantaran tidak bisa menghapalkan kitab. Mengatur anak yang tidak disiplin bukan dengan kekerasan bukan? Sering kali anak dipandang sebagai milik orang tua juga milik pengasuh ketika di masa pendidikan. 

Ia tidak dipandang memiliki hak sebagai individu yang memiliki ruang pribadi hingga tak jarang anak dipaksa untuk menuruti semua aturan yang dibuat. Agar anak disiplin, tidak sepatutnya kekerasan menjadi metode yang disepakati untuk dilakukan. 

Negara bahkan telah mengatur peraturan perlindungan anak pada setiap lini terutama di lingkungan sekolah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan regulasi pada Permendikbudristek No 46 Tahun 2023.

BACA JUGA: Harga Tiket dan Seatplan Konser 2NE1 di Jakarta Rilis, Dijual Mulai 7 Oktober

Yakni yang berisi tentang aturan pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan di Indonesia. Pada peraturan ini, tercantum pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK).

Bertugas dalam menangani kasus di sekolah dengan berpedoman pada kebijakan kementerian terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Peraturan baru terbit didasari oleh banyaknya kasus kekerasan pada anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: