Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi

Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi

ILUSTRASI Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KOTAK KOSONG adalah istilah untuk menggambarkan situasi pemilihan hanya diisi calon tunggal. Ketika seorang calon kepala daerah tidak memiliki saingan, posisi lawannya di surat suara digambarkan dalam bentuk kotak kosong. Hal itulah yang memunculkan istilah ”melawan kotak kosong”. Sebab, calon yang tercantum di surat suara hanya satu, tanpa lawan. 

Calon yang melawan kotak kosong memiliki potensi menang pilkada sangat tinggi karena tanpa saingan. Padahal, rivalitas yang dibangun dalam sebuah kontestasi yang fair dan sportif dalam iklim demokrasi niscaya melahirkan pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat. 

Akan tetapi, jika rivalitas yang terjadi adalah melawan kotak kosong, yang muncul adalah semacam permainan ”pseudo-demokrasi”. Aspirasi rakyat pemilih akan terpinggirkan.

BACA JUGA:Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

BACA JUGA:Dukungan Pada Kotak Kosong Surabaya Meningkat

Potensi munculnya kotak kosong dalam pilkada bisa saja terjadi kapan saja. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan regulasi untuk mengantisipasi adanya kondisi kotak kosong dalam pilkada. 

Kebijakan mengenai kotak kosong sendiri tercantum dalam Undang-Undang (UU) Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54C dan 54D. Berdasar Pasal 54C Ayat 2, disebutkan bahwa dalam kasus pilkada hanya diikuti calon tunggal, surat suara wajib memuat dua kolom foto. 

Satu kolom foto digunakan untuk memajang foto calon tunggal, sedangkan kolom satunya lagi dikosongkan. Selain itu, UU Pilkada menegaskan bahwa calon yang melawan kotak kosong belum tentu menang. Pasalnya, calon tunggal wajib memperoleh minimal suara untuk bisa dinyatakan sebagai pemenang pilkada. 

BACA JUGA:KPU Surabaya Pertimbangkan Adanya Kursi Kotak Kosong di Debat Pilkada 2024

BACA JUGA:Temui KPU Kota Surabaya, MAKI Jatim Dukung Kotak Kosong

Berdasar pasal 54D, jumlah suara yang harus dimenangkan calon tunggal adalah 50 persen dari suara sah. Jika calon mendapatkan suara di bawah 50 persen, calon tunggal tersebut dapat mencalonkan diri kembali di putaran berikutnya. 

Kemudian, jika calon tunggal tak lagi terpilih atau memenuhi kuota minimal suara sah, pemerintah wajib menunjuk penjabat di daerah. Artinya, gubernur, bupati, atau wali kota dapat dipilih pemerintah pusat, baik sebagai karteker ataupun definitif.

Lembaga pemantau pemilu menyebut tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun. Muncul kekhawatiran, demokratisasi yang diharapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bakal makin terkikis politik pragmatis. Akan tetapi, partai politik berdalih bahwa kesepakatan mengusung calon tunggal merupakan konsekuensi sistem pemilihan yang disepakati pemerintah dan DPR di tingkat pusat. 

BACA JUGA:Kampanye Kotak Kosong Tidak Dilarang, KPU Surabaya: Itu Hak Demokrasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: