Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi

Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi

ILUSTRASI Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dana tersebut digunakan untuk mencetak kertas suara, logistik, biaya untuk membayar honor para petugas, serta biaya untuk masyarakat yang terlibat dalam peliputan suara. Dengan asumsi, rata-rata pengeluaran untuk kampanye mencapai Rp 75 miliar hingga Rp 150 miliar. 

Dana itu biasanya dialokasikan pasangan calon untuk mencetak dan beli flyer, spanduk, umbul-umbul, backdrop, kaus, stiker dan keperluan kampanye lainnya, sewa tenda, panggung, sound system, serta mendatangkan artis. 

Efek ekonomi berganda itu terus menggerakkan sektor UMKM yang memiliki usaha keperluan yang berkaitan dengan kebutuhan kampanye pemilu.

Jika diestimasi pengeluaran belanja setiap cagub, cabup, dan cawalkot yang total di kisaran angka Rp 100 miliar di setiap kabupaten/kota yang dialokasikan pada pengeluaran untuk bidang advertising, percetakan, merchandising, event organizer, transportasi, dan akomodasi, bisa dibayangkan betapa besar efek ekonomi berganda yang menghidupkan potensi ekonomi rakyat. 

Tak menampik pula, fakta itu juga akan didukung dengan penguatan konsumsi melalui bantuan sembako dan tidak tertutup kemungkinan fresh money meski hal itu tidak dibenarkan secara aturan, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik ini lazim terjadi saat pesta demokrasi.

Maka, sangat disayangkan jika pilkada yang akan dihelat nanti berpotensi diwarnai rivalitas melawan kotak kosong. Menurut Perludem, maraknya fenomena melawan kotak kosong bisa disebabkan beberapa faktor. 

Pertama, mahalnya mahar politik atau ”ongkos perahu” yang bersifat ”di bawah meja” yang harus disetor kandidat kepada parpol agar bisa diusung sebagai jagoan pada pilkada. 

Kedua, gagalnya atau mandeknya mekanisme kaderisasi partai. Sistem merit partai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, secara kalkulasi pragmatis bahwa mengusung orang yang punya potensi besar dipilih itu akan lebih baik ketimbang mengangkat kader sendiri meski senior, tapi ”gak layak jual”. 

Akibatnya, sebagian partai lebih memilih jalan pintas, yakni menunggu permohonan rekomendasi dari figur publik yang ingin maju dalam pilkada. Sebab, orientasi parpol sebagai ”kawah candradimuka” pembentuk kader pemimpin telah bergeser ke orientasi materialistis dan menjauhkan dari orientasi demokrasi yang sesungguhnya. Kendati berjalan, akan berpotensi menjelma pseudodemokrasi. 

Dengan demikian, pada fase ini mereka yang hanya memiliki sumber dana melimpah mampu membeli ”ruang oposisi” untuk maju pada kontestasi pemilu. Pada gilirannya, kontestasi yang terjadi adalah pilkada melawan kotak kosong. 

Dua faktor tersebut membuat pertarungan makin sulit, tetapi lebih mudah untuk calon tunggal/dinasti politik sesungguhnya sudah keluar dari apa yang dinamakan demokrasi yang tidak demokratis, karena takut berkompetisi dengan calon lain secara fair dan berkeadilan. 

Pada aspek ekonomis, kontestasi pilkada yang menihilkan oposisi akan ”merugikan” sektor ekonomi secara tidak langsung karena tidak terjadi perputaran uang yang berpotensi menggerakkan aktivitas usaha-usaha produktif masyarakat. (*)

 


*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship, & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: