Optimisme Kebijakan Ekonomi Kabinet Prabowo-Gibran
ILUSTRASI Optimisme kebijakan ekonomi kabinet Prabowo-Gibran.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: Nasionalisme Ekonomi untuk Indonesia Maju 2045
BACA JUGA: Arah Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia
PRIORITAS KEBIJAKAN YANG BERSIFAT STIMULAN
Mengakomodasi sejumlah faktor eksternal di atas yang bersifat menguntungkan, kabinet Prabowo-Gibran seyogianya memperkuat kebijakan yang diharapkan mampu menstimulasi potensi pertumbuhan ekonomi yang memiliki efek pengganda
Pertama, pemerintah perlu terus memacu peningkatan investasi demi tercapainya pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang merupakan salah satu kontributor terbesar setelah konsumsi rumah tangga, agar dapat tumbuh tinggi. Dengan demikian, dapat mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan kompetitif di tengah persaingan investasi di negara-negara lain yang juga prospektif di mata investor global.
Kedua, memperluas ruang fiskal Indonesia yang masih terbatas, sangat urgen bagi pemerintah mengoptimalisasi pos-pos belanja pemerintah yang memiliki efek pengganda besar pada sektor makro, seperti pemberian insentif pajak ekspor pada sektor komoditas primadona nonmigas.
Ketiga, mempertahankan tingkat inflasi di level 1,5–3,5 persen agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Adanya stimulus bansos dan BLT yang masih berjalan relatif membantu sektor konsumsi untuk jangka pendek. Tingginya tingkat konsumsi sangat signifikan bagi pertumbuhan PDB.
Keempat, mendorong akselerasi reformasi struktural demi peningkatan sektor-sektor ekonomi yang memiliki kontribusi besar pada perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, perdagangan, dan konstruksi sehingga peningkatan kualitas indikator sosial ekonomi Indonesia juga ikut terkerek.
Terlebih, di tengah merosotnya kelompok kelas menengah pada fase yang cukup mencemaskan, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas bisa mendongkrak kembali golongan itu yang selama ini memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara populasi, kelas menengah berjumlah 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk. Mereka memiliki kualifikasi sumber daya manusia (SDM) yang terampil. Sekitar 56 persen alokasi pengeluaran kelompok itu dipakai untuk pendidikan dan kesehatan serta memiliki aset yang cukup untuk berwirausaha.
Sebagaimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen.
Hasil survei juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Terjadi tren penurunan sejak itu. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Kontribusi pajak mereka dikhawatirkan akan berkurang jika daya beli kelompok tersebut kian tergerus, dan pada gilirannya berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan.
Sesuai standar internasional yang diberikan Bank Dunia, kelas menengah merupakan kelompok orang yang pengeluarannya antara 3,5 sampai dengan 17 kali dari garis kemiskinan.
Kalau garis kemiskinan di tahun 2024 besarannya adalah Rp 582.993 per kapita per bulan, kelompok yang pengeluarannya di kisaran Rp 874.000 sampai dengan Rp 2.040.000 itu belum masuk kelas menengah, tetapi menuju kelas menengah atau aspiring middle class.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: