Ramadan Kareem 2025 (14): Momentum Bertahannuts

Ramadan memang saatnya bertahanuts, menjemput Nuzulul Qur'an. Barakallah. --iStockphoto
HARIAN DISWAY - Saya membayangkan tata kehidupan di Ramadan 610 M. Saat wahyu perdana turun kepada Nabi Muhammad Saw. 17 Ramadan di tahun Masehi 610 rasanya sangat super-istimewa.
Inilah saat yang saya anggitkan Nabi Muhammad Saw sedang khusyuk di sebuah pegunungan yang bergua. Alhamdulillah waktu umroh tempo hari saya sendiri berkesempatan dapat masuk ke gua tersebut.
Di masa itu tentu belum ada lampu penerangan jalan tetapi lampu alamiah yang berupa rembulan. Waktu saya dan jamaah umroh waktu itu yang banyak dari Turki sangat antusias dapat memasuki gua kecil di pergunungan yang sangat historis dalam pewahyuan Al-Qur'an.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung
Kehadiran kami di puncak gunung itu tengah malam dengan rembulan yang bulat sempurna. Sangat menggetarkan jiwa, butuh tenaga dan tekad untuk dapat memasukinya. Bagi saya sungguh ini karunia Allah Swt yang amat besar, sehingga saya dapat menyujudkan diri di areal tempat turunnya wahyu Al-Qur'an.
Kini. pada tarikh di mana puasa Ramadan 1446 H dilaksankaan, terawang lamunan saya tertuju pada era dimaksud dan ingin menyelami maknanya. Tahukan para pembaca. Pegunungan itu bernama Jabal Nur yang berjarak sekitar 2 mil dari Makkah.
Di tepian puncaknya “bertahta” Gua Hira yang panjangnya berukuran 1,8 meter dan lebar 0,8 meter. Gua ini fisiknya tampak sempit dan sulit dijangkau. Tetapi memiliki “keluasan yang mukjizati yang telah disematkan” hingga menjadi wahana dan saksi atas risalah kenabian Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (12): Ramadan dan Ingatan Nareswari
Gua Hira memanggungkan daya jangkau yang sangat Rabbani. Semesta dikreasi oleh-Nya dan Allah Swt menuangkan sabda “rahmatan lil ‘alamin” justru bermula dari Gua Hira ini.
Gua yang Nabi Muhammad SAW menemukan cara “menenangkan batin” dengan beruzla, berkhalwat, bertapa, menyendirikan diri, bertahannuts untuk menangkap pesan Rabb-nya dalam hening, dalam sunyi, dalam sepi.
Tahannuts adalah areal kontemplasi me-nyuwung-kan jasad memetik sukma yang mampu mengatasi ketidakterjangkauan raga meski amat lekat dalam jiwa. Kanjeng Nabi Muhammad Saw menempuh jalan hening itu pada saat situasi publiknya berada pada puncak kejahiliaan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja
Masyarakat jahiliyah yang membuncah tentu saja bukan gerombolan orang bodoh dalam artian literatif tetapi “keterhijaban” batin khalayaknya, sehingga “gelap-gulita” ruhaninya tanpa mampu menemukan cahaya Tuhannya.
Penyembahan berhala dan pemberhalaan materi adalah wujud paling kelam tingkat kebiadaban yang tidak mengenal peradaban nalar sehat. Manusia-manusia itu seperti kerumunan tanpa adab yang jauh dari nilai-nilai hakikiyah penciptaan insani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: