Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung

Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung

Dalam bulan Ramadan, dunia pendidikan dinodai tawuran pelajarnya dengan batu serta sajam di sarung yang mestinya untuk beribadah. --iStockphoto

HARIAN DISWAY - Di kota ini. Di metropolitan ini. Di Kota Pahlawan ini. Ya di Surabaya ini. Selama Ramadan 1446 ini terjadi realitas yang menyentak, sekaligus mengagetkan serta mengerikan. Lebih dari itu, merisaukan.

Bahkan mengkhawatirkan sekhawatir-khawatirnya. Dalam bahasa Jawa ini sangat nggegirisi. Apa itu? Perang sarung antar warga yang tergolong berstatus pelajar. Pelajar Surabaya menggelar ”festival” kekerasan.

Inikah produk pendidikan di kota yang berbilang kelas dunia. Dunia pendidikan yang dinodai tawuran pelajarnya dengan batu serta sajam di sarung yang mestinya untuk beribadah.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (12): Ramadan dan Ingatan Nareswari

Simaklah. Berbagai media massa di Surabaya hari-hari ini memberitakan tentang jebloknya laku pelajar yang suka tawuran. Pemberitaan tersebut seakan menggedor dan menggugat keberadaan pendidikan Surabaya.

Ini pun akhirnya saya sampaikan di depan wali kota Surabaya, waktu harus membersamai melakukan fit and proper test para calon petinggi kota. Perang sarung menimbulkan pertanyaan: mana prestasi anak di Surabaya yang sekolahnya serba plus.

Namun prestasi yang hebat-hebat menjadi tenggelam oleh ulah tawuran. Adakah ini akibat tingginya tingkat pencemaran, dalam perspektif ekologi perkotaan. Memang diteorikan bahwa tingginya tingkat pencemaran lingkungan perkotaan sangat berpengaruh pada perilaku publiknya.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja

Bahan pencemar yang berupa C02, N0x, S0x, Fe, HC, Pb, dan lain sebagainya apabila menggelayut maupun bersemayam di seluruh lubuk kampung, akan berdampak negatif pada warganya. Apalagi kalau ditambah sanitasi perkotaan yang (umumnya) buruk mengakibatkan kualitas hidup di kota-kota sebrang kurang baik dan sehat.

Intinya pencemaran lingkungan perkotaan dapat menyebabkan: orang-orangnya temperamental, banyak terserang diare, ancaman penurunan tingkat kecerdasan, hipertensi, anemia, bahkan menurunnya daya seksualitas orang dewasa. 

Pernah ada survei lama, lama sekali lebih dari satu dasawarsa yang lalu yang membuktikan bahwa Ibu-ibu di Surabaya ada yang mengandung logam berat timbal (Pb) mencapai lebih dari 500 mg/l, padahal standar WHO, tubuh boleh menyimpan logam berat Pb paling tinggi 5 mg/l.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (10): Ramadan dan Daun Sang Mahacinta

Dengan demikian, di Kota Surabaya ada warga yang mengandung logam berat Pb setarus kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kenyataan lama ini tentu harus direspons dengan cerdas oleh warga kota dan Pemerintah Kotanya.

Kini perlu diupdate lagi. Sepertinya kesehatan lingkungan semakin membaik tetapi bekar akibatnya masih menempel. Kualitas lingkungan yang mendera warga dengan kandungan Pb semacam itu secara logis akan memproduksi orang-orang yang tidak kompetitif secara intelektual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: