Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung

Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung

Dalam bulan Ramadan, dunia pendidikan dinodai tawuran pelajarnya dengan batu serta sajam di sarung yang mestinya untuk beribadah. --iStockphoto

Berkali-kali kampung-kampung yang jeblok hasil pendidikannya akan mengekspresikan perilaku kekerasan. Ini adalah sebuah peta pendidikan yang mendukacitakan, yang abai dengan problematika lingkungan.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (9): Menghindari Talbis Iblis

Perlu diketengahkan bahwa tubuh manusia yang mengandung bahan pencemar Pb yang tinggi jelas akan menurunkan anak-anak yang diprediksi kurang cerdas. Pernahkah pembaca melakukan cek kesehatan tentang kandungan logam berat Pb atau zat pencemar lainnya, selain asam urat, kolesterol dan yang selazimnya itu? 

Kini lakukanlah cek kesehatan anggota keluarga kita dalam parameter Pb saja misalnya, apabila secara laboratoris melebihi baku mutu, maka jangan salahkan munculnya perang sarung anak-anak didik Surabaya karena pendidiknya yang dianggitkan berada dalam lingkungan yang kualitasnya memburuk.  

Dari perang sarung akhir-akhir ini wajah dunia pendidikan kita benar-benar muram semuram-muramnya. Apabila tidak segera diatasi. Tidak ada lagi yang istimewa dengan produk pendidikan. Publik terasa mendapat suguhan ”sinetron kenakalan” dalam episode yang paling ”korak” (konyol dan norak”).

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (8): Sepekan Keindahan

Alur cerita perang sarung tidak ada dalam skenario ”sutradara pendidikan” pada mulanya. Perang sarung nyelonong tanpa kendali dan ada di luar jangkaun ”titik orbit” yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang Sisdiknas ini tidak mengamanatkan adanya pelajar tawuran sebab aturan pendidikan ini menekankan pengembangan insan didik berbasis kemuliaan. Perang sarung oleh para subyek pendidikan pun pada segmennya dipahami sebagai ”langkah liar” yang wajib ditindak secara bijak. 

Perang sarung pelajar ternyata menyisakan berbagai potret kunyel (lusuh) pelaksanaan pendidikan di Surabaya. Pelajar tawuran itu benar-benar tidak menyuguhkan ”the new paradigm” untuk mencerdaskan dan membebaskan anak negeri dari logika strukturalis kekerasan.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (7): Revolusi Ramadan

Dalam penyelenggaraan pendidikan saya mencermati sekolahan hanya sibuk merebut angka kelulusan semata. Para petinggi pendidikan punya waktu untuk mengatasi ini. Apa yang kemudian terpamerkan sebagaimana tahun-tahun lalu?  

Perang sarung seakan menandakan bahwa perjalanan peradaban bangsa sedang dalam bahaya dengan kepungan para pelaku kekerasan yang lahir dari rahim sekolahan. Jadi adakah kita dibuat ragu oleh ”institusi pendidikan” dengan ekspresi anak-anaknya suka tawuran yang spektakuler itu? 

Jangan-jangan yang demikian itu apabila tidak ditindak bijak dan terukur, akan dianggap kelaziman? Aduh... kenapa itu terjadi? Pihak sekolah tidak boleh melakukan pembiaran perang sarung.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (6): Ramadan adalah Kita

Ini wujud perilaku menyimpang sebagai manifestasi sekolahan yang tidak ndidik tapi nyekoki pelajaran tanpa karakter kesurabayaan yang penuh persahabatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: