Gus Miftah dan Fenomena Cancel Culture
ILUSTRASI Gus Miftah dan fenomena cancel culture.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kedua, memohon kepada Miftah untuk tetap bersedia mengabdi kepada bangsa dan negara melalui UKP di bawah arahan presiden.
Ketiga, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersikap arif dan bijaksana layaknya Sunhaji dan keluarga yang telah memaafkan Miftah. Juga, pemberian maaf oleh Sunhaji dan keluarga kepada Miftah tidak dilanjutkan dengan kontroversi publik yang kurang sehat seperti menyerang pribadi Miftah.
Fenomena petisi tandingan terhadap kasus yang melibatkan tokoh yang sama tersebut menarik untuk ditinjau lebih lanjut.
Meskipun akhirnya ”kalah” dalam jumlah suara, kebebasan publik untuk menyuarakan pendapat dan aspirasinya terhadap figur tertentu menjadi suatu hal yang tak terelakkan di era post-truth seperti sekarang.
Firman Kurniawan, dalam siniar Digital Dilemma dengan judul Cancel Culture (2019), menyatakan bahwa cancel culture merupakan turunan langsung dari post-truth (Kurniawan dalam Altamira dan Movementi, 2023).
Dalam era post-truth, kita memahami dan memercayai sebuah kebenaran jika dirasa cocok dengan perasaan kita.
Sama halnya dengan post-truth, cancel culture banyak terjadi ketika kita mendukung seseorang karena jejaring relasi yang turut mendukungnya. Kita tidak melihat fakta mengapa orang tersebut harus didukung.
Lalu, ketika dukungan tersebut ditarik, termasuk oleh jejaring sosial, kita pun melakukan hal yang sama (Altamira dan Movementi, 2023).
Dengan kata lain, cancel culture ibarat sesuatu yang bersifat tren sementara. Orang-orang yang menandatangani petisi tersebut hanya fear of missing out (FOMO) alias ”latah” dan tidak ingin ketinggalan tren yang sedang viral tanpa benar-benar tahu duduk permasalahannya selain dari yang mereka baca di media sosial.
Terlepas dari benar-salah dalam ikut memboikot sosok tertentu, fenomena cancel culture itu perlu dikritisi terkait dampak positif maupun negatifnya.
Positifnya, yaitu mendesak masyarakat bergerak bersama memberikan sanksi sosial terhadap figur tertentu yang bermasalah atau meresahkan masyarakat.
Negatifnya, kita mudah terbawa opini publik yang bisa jadi ”dikontrol” pihak-pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya.
Sebagai warganet yang bijak, kita perlu memahami permasalahan yang sebenarnya dengan memahami konteks dan melihat dari dua sisi yang berbeda. Tidak mentah-mentah menerima tuntutan dalam petisi online semata-mata demi ikut-ikutan tren atau FOMO. (*)
*) Rina Saraswati adalah dosen bahasa dan sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga.--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: