Pembangunan PLTN di Indonesia, Siapkah?

Pembangunan PLTN di Indonesia, Siapkah?

ILUSTRASI Pembangunan PLTN di Indonesia, Siapkah?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Sementara itu, pada kecelakaan PLTN Three Mile Island (1979) dan Fukushima Daiichi (2011), meski dosis radiasi lebih rendah (0,08 miliSievert dan 30–50 miliSievert), paparan jangka panjang tetap berbahaya.

Risiko lain yang ditimbulkan bila PLTN mengalami kecelakaan tentulah kerugian material. Pada kasus kecelakaan Fukushima 2011 di Jepang, area dalam radius 20–30 km dari pusat PLTN harus dikosongkan dan 160 ribu penduduk harus dievakuasi. 

Mereka harus meninggalkan rumah, properti, dan bahkan makanan dan minuman karena dianggap telah terkontaminasi radiasi. 

Peternak sapi, misalnya, harus meninggalkan ternaknya, bahkan harus memusnahkan hewan-hewan tersebut. Semua sektor usaha harus ditinggalkan tanpa kepastian kapan bisa kembali beroperasi. 

Para pengungsi, dalam beberapa kasus, juga mengalami diskriminasi karena terstigmatisasi sebagai manusia mutan atau kontaminan radiasi nuklir.

Akibatnya, pemerintah Jepang dan perusahaan listrik TEPCO harus membayar kompensasi atas seluruh kerigian yang totalnya diperkirakan mencapai USD 196 billion (MOFA, 2018) atau sekitar Rp 3 ribu triliun atau sama dengan sekitar satu kali APBN Indonesia. 

Kerugian itu bahkan puluhan kali lipat lebih besar daripada nilai aset PLTN Fukushima itu sendiri yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 200 triliun. Meski tidak tercatat adanya korban jiwa, pengalaman dan risiko besar itu harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati bila Indonesia memutuskan membangun PLTN. 

Jenis energi lain yang minim emisi CO2, ramah lingkungan serupa dengan nuklir, tetapi tidak seberisiko nuklir adalah energi terbarukan seperti energi air, bayu, surya, biogas, biomasa, panas bumi, gelombang laut, bahkan sampah. Jenis energi itu saat ini sedang tren di dunia karena potensinya dalam mereduksi pemanasan global. 

Hanya, energi-energi tersebut bukan tanpa kelemahan. Sebagai contoh, energi surya atau angin membutuhkan lahan yang luas dan energi listrik yang dihasilkan tidak bisa sepenuhnya stabil karena bergantung dengan cuaca. 

Tantangan-tantangan itu menunjukkan bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan memang bukan proses yang instan. 

Bila ditanya, adakah negara yang berkomitmen besar meninggalkan energi nuklir dan beralih ke energi terbarukan? Jawabnya ada, yaitu Jerman. Kita bisa belajar darinya. (*)


*) M.G. Amanullah adalah pengajar di Departemen Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga, Surabaya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: