Pelayanan Kesehatan Berbasis Nilai
ILUSTRASI Pelayanan Kesehatan Berbasis Nilai.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kita harus bisa membedakan, ”sudah dilakukan tindakan” dan ”sudah dilakukan tindakan dengan benar” adalah dua hal yang amat berbeda. Pasien yang puas belum tentu dilakukan tindakan yang benar. Pasien tidak puas pun belum tentu juga mendapat tindakan yang salah.
Lalu, siapa yang berhak menilai kinerja RS? Jawabannya adalah auditor. Auditor itu merupakan pihak eksternal dan independen yang tersertifikasi internasional.
Auditor yang akan menilai kendali mutu dan kendali biaya RS, apakah sudah sesuai dengan standar atau belum. Auditor itulah yang akan melakukan apa yang namanya audit klinis.
BACA JUGA:Belajar Saling Toleransi dari Tiongkok
Audit klinis pada dasarnya adalah proses untuk mengetahui apakah layanan kesehatan yang diberikan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan atau belum. Juga, cara-cara perbaikan apa saja yang dapat dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih baik.
Dasar audit itu adalah data. Data di setiap RS tersebut harus transparan, berbasis teknologi, dan akuntabel. Data itulah yang nanti dikumpulkan dan dianalisis sebagai dasar bagi auditor melakukan audit.
RS yang tidak memiliki data tidak akan bisa mengukur kesalahan medis yang ada di RS tersebut. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, jika kesalahan medis bisa kita masukkan katagori penyakit, kesalahan medis (medical error) akan menjadi penyebab kematian nomor 3 tertinggi di Amerika Serikat.
BACA JUGA:Budaya Membaca Buku di Tiongkok
Lebih dari 250.000 pasien meninggal setiap tahun karena kesalahan medis (Studi John Hopkins 2016). Kesalahan medis itu ada di belakang penyakit jantung dan kanker, peringkat pertama dan kedua kematian di Amerika Serikat.
Hal yang paling berkontribusi mengakibatkan kesalahan medis adalah human error (kesalahan manusia). Kesalahan medis itu terjadi ketika sistem kesehatan yang lemah dan tidak diawasi.
Faktor kelelahan, kesalahan penulisan resep, faktor miskomunikasi, kelalaian, atau kurangnya skill dan training dari para tenaga kesehatan di RS tersebut yang mengakibatkan kecacatan, bahkan kematian bagi pasien.
Secara global, WHO telah menghitung kerugian sebesar USD 42 M (Rp 680 triliun) yang disebabkan kesealahan medis per tahun.
Pahit memang faktanya melihat angka kematian dan kerugian yang tinggi. Namun, negara yang bisa mengukur kekurangannya bisa menjadi pelajaran untuk berbenah di kemudian hari.
Izinkanlah saya menutup dengan sebuah kutipan dari Marianne Williamson, ”Kadang ketakutan terdalam kita bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita memiliki kekuatan yang tidak bisa kita ukur. Bukan kegelapan yang membuat kita takut, tetapi cahaya kita sendiri”. (*)
*) Jagaddhito Probokusumo adalah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dan fellowship interventional cardiology di Rizhao International Heart Hospital, Tiongkok.--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: