Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (8): Kehangatan dan Kejujuran di Paris

Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (8): Kehangatan dan Kejujuran di Paris

Menara Eiffel di Paris yang ikonik tampak makin indah di malam hari. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Saat ngafe, sambil nguping yang lain, saya juga belajar bahwa orang Paris suka diskusi. Bahkan obrolan paling santai pun bisa tiba-tiba berubah jadi debat ringan soal politik, filsafat. Kadang, ke kawan saya yang Parisian, saya cuma ingin bilang, “Saya cuma nanya enak mana croissant di sini sama kafe sebelah, bukan mau bahas eksistensialisme.” 

Tapi di situlah asyiknya. Mereka punya semacam gairah intelektual yang nempel di percakapan sehari-hari. Bikin saya mikir, “Oke, kayaknya saya harus baca buku lagi sebelum beli croissant”.

Nah, soal pertemanan, orang Paris memang tidak langsung akrab seperti orang Indonesia yang bisa bonding dalam waktu 5 menit lewat curhat masalah dompet hilang. Di sini, hubungan dibangun perlahan. Saya pernah diajak makan malam oleh teman Prancis, dan baru sadar: makan malam itu bisa berlangsung tiga jam, lengkap dari appetizer sampai diskusi eksistensi hidup. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (6): Engineer Indonesia Menembus Silicon Valley

Kadang saya rindu nasi bungkus dan ngobrol 15 menit yang to the point, tapi ada kenikmatan tersendiri dalam makan sambil ngobrol ngalor-ngidul ditemani anggur dan kudapan potongan keju yang tidak pernah saya sentuh. Baunya saja membuat saya merinding dangdut.

Pada akhirnya, tinggal di Paris mengajarkan saya bahwa kehidupan sosial di sini punya lapisan-lapisan yang unik. Kadang terasa seperti ujian etika tidak tertulis, kadang seperti sandiwara kecil yang serius. Tapi di balik semua itu, ada kejujuran dan kehangatan yang muncul pelan-pelan, seperti Paris sendiri. 


Di Kota Paris, ribuan gembok berjejer menggelayuti sepanjang jembatan dan pagar Sungai Seine. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Saya, sejujurnya masih mencari tahu, kenapa Paris disebut kota romantis. Mungkin nanti, saat saya saya sudah menyelami lebih banyak lagi, saya akan bisa memahami.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (1): Jejak Diplomasi dari Singapura ke Paris

Saat ini, saya menikmati setiap interaksi dengan orang-orang yang berlalu lalang dalam kehidupan saya. Entah di jalan, bus kota, atau metro. Karena dengan interaksi itu saya akan bisa berkata, oh, inilah Paris. Mungkin saat itu saya akan bisa berkata, “Paris, je t’aime“. (*)

*) Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Staf Pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: i.g.a.k satrya wibawa