Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (4): Menembus Finlandia dari Denmark dan Malaysia

Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (4): Menembus Finlandia dari Denmark dan Malaysia

Demi mencari supervisor, Mushonnifun Faiz Sugihartanto ke Indonesia berangkat ke Malaysia pada 2023. Tampak ia foto di depan University of Malaya, Malaysia.--Mushonnifun Faiz S

HARIAN DISWAY - Jalan terjal mendapatkan supervisor menjadi warna perjalanan saya untuk bisa berkuliah S3 di Finlandia. Mengapa demikian? Simak ceritanya.

Peribahasa ”Banyak jalan menuju Roma” bukan klise. Jadi, ketika sudah berikhtiar lantas hasilnya masih kegagalan, saya tak menyerah. Maka, saya mengambil langkah lain dengan mendatangkan calon supervisor ke Indonesia. 

Ya, sepulang dari Inggris, saya tetap menyebar email ke berbagai calon supervisor. Berjaga-jaga jika aplikasi saya tidak berjalan sesuai harapan. Kalau ditotal, ada 60 calon supervisor dari berbagai universitas yang tersebar di Eropa, Australia, dan Selandia Baru yang saya email. 


Calon pembimbing S3 dari Denmark yang didatangkan Mushonnifun Faiz Sugihartanto ke Indonesia. Foto bareng di International Office ITS Surabaya.--Mushonnifun Faiz S

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (5): Penonton Kehidupan di Atas Pedal

Saya tidak memasukkan Asia sebagai tujuan karena terkait dengan tuntutan publikasi dan budaya kerja yang masih kurang egaliter. Soal satu ini akan saya bahas tersendiri di seri selanjutnya. Begitu juga dengan Amerika Serikat yang bagi saya kurang family-friendly. Apalagi mengingat kondisi geopolitik di sana saat ini. 

Dari puluhan supervisor itu, enam di antaranya setuju men-supervisi saya. Tapi lagi-lagi saya terganjal masalah standar funding LPDP. Rata-rata supervisor yang saya approach berasal dari negara Nordik.

Mereka menekankan kesetaraan. Mereka meminta beasiswa saya yang harus dinaikkan memenuhi standar gaji mahasiswa S3 di sana. Sementara saat saya menghubungi LPDP via dirut langsung, jawabannya begini: LPDP memiliki standar sendiri dalam menentukan beasiswa. 

Selain lewat jalur beasiswa LPDP dan approach supervisor secara personal, saya tetap melamar posisi PhD yang berbasis project. Yakni topik sudah ada dari supervisor, mereka posting sebagai vacancy, dan secara salary mereka sangat tinggi. Tercatat sekitar 21 peluang saya apply dalam kurun waktu empat tahun.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (6): Bertualang Menjelajah Paris di Bawah Tanah

Pada akhir 2022, ada research funding dari internal ITS Surabaya yang membuka peluang untuk mendatangkan profesor dari luar negeri untuk datang ke ITS untuk berkolaborasi riset. 

Dalam pikiran saya, saya ingin mendatangkan calon pembimbing dari Denmark yang kala itu sudah kandas. Saya email dia. Dia bersemangat sekali datang ke Indonesia. Kalau toh akhirnya dia gagal men-supervisi saya sebagai mahasiswa doktoral, maka dia men-supervisi saya di penelitian kolaborasi yang akan dijalani.

Proses aplikasi berjalan cepat. Bahkan waktu itu dari pihak kampus bilang first come first served. Saya berkirim email juga agak in a rush. Untung dia sangat fast response. Pada hari deadline, saya mengirim aplikasi ke kampus. 

Beberapa hari kemudian, aplikasi saya diterima. ”Welcome to Indonesia!”, tulis saya kepadanya melalui email. Balasannya bikin senang: ”Hi Faiz, I think , I have some other plan for you to come to Denmark for doing PhD with me here. Let’s discuss it later when in Indonesia!”. Saya berdebar-debar dan tak sabar bertemu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: