Menghadirkan Damai: Belajar Mencintai di Tengah Badai Kebencian

Menghadirkan Damai: Belajar Mencintai di Tengah Badai Kebencian

Meski sering dianggap sebagai produk pemikiran Barat, praktik multikulturalisme sesungguhnya telah lama hadir di berbagai masyarakat Asia. Di Indonesia, prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk lokal dari semangat ini. --iStockphoto

Di tengah arus globalisasi yang mempercepat pertukaran informasi dan mempertemukan berbagai identitas dalam satu ruang, dunia menghadapi tantangan baru dalam menjaga kohesi sosial. Salah satu aspek paling kompleks dalam dinamika ini adalah keberagaman agama.

Dalam konteks inilah multikulturalisme menjadi pendekatan yang relevan dan penting, karena ia menawarkan kerangka berpikir dan bertindak yang mengedepankan penghargaan terhadap perbedaan dan harmoni dalam keberagaman.

Konteks waktu pun turut memperkuat urgensi refleksi atas tema ini. Bulan Mei dan Juni 2025 menjadi momen penting bagi tiga komunitas keagamaan besar di Indonesia. Pada 12 Mei diperingati Hari Raya Waisak oleh umat Buddha, 29 Mei dirayakan sebagai Hari Kenaikan Isa Almasih oleh umat Kristiani dan Katolik, dan 6 Juni menjadi Hari Raya Iduladha bagi umat Islam.

BACA JUGA:Brand Baru Surabaya: Apa Selanjutnya?

Tiga hari besar keagamaan ini, yang berdekatan dalam satu rentang waktu, menjadi simbol nyata bagaimana ruang publik Indonesia diwarnai oleh keberagaman iman dan spiritualitas. Momentum ini menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar ideal, melainkan kebutuhan nyata dalam hidup bersama.

Multikulturalisme: Reinterpretasi Fondasi Sosial di Era Turbulensi

Multikulturalisme menekankan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok budaya dan identitas, termasuk agama, yang semuanya memiliki hak untuk diakui dan diperlakukan setara. Di tengah arus globalisasi, urbanisasi, dan digitalisasi yang terus bergerak dinamis, konsep ini mengalami reinterpretasi: bukan sekadar hidup berdampingan, tetapi membangun interaksi lintas identitas yang aktif, reflektif, dan transformatif. 

Di era turbulensi sosial yang ditandai oleh krisis kepercayaan, meningkatnya intoleransi, serta kontestasi identitas di ruang publik dan digital, multikulturalisme menjadi lebih dari sekadar wacana toleransi. Ia tampil sebagai fondasi sosial yang harus terus ditafsirkan ulang agar tetap relevan dalam merespons kompleksitas zaman.

BACA JUGA: Hiruk-Pikuk Pelanggaran Hak Cipta Lagu

Meski sering dianggap sebagai produk pemikiran Barat, praktik multikulturalisme sesungguhnya telah lama hadir di berbagai masyarakat Asia. Di Indonesia, prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk lokal dari semangat ini. Namun, tantangan kontemporer seperti radikalisme, politisasi agama, dan diskriminasi menuntut pendekatan baru—yakni menghidupkan kembali nilai-nilai multikulturalisme dengan cara yang lebih kontekstual, kritis, dan berdaya guna bagi kohesi sosial saat ini.

Relasi Agama dan Budaya dalam Konteks Multikultural

Agama adalah sistem keyakinan yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga membentuk etika sosial dan praktik budaya. Dalam masyarakat multikultural, setiap kelompok agama membawa serta nilai-nilai dan norma yang khas. Jika tidak dikelola dengan bijak, perbedaan ini bisa memicu segregasi sosial, stereotip, bahkan kekerasan.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa masyarakat yang mampu mengelola keberagaman justru menjadi lebih kreatif, dinamis, dan damai. Kanada dan Australia, misalnya, menjadi contoh negara yang berhasil menerapkan prinsip multikulturalisme secara institusional. Pemerintah memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, mendorong dialog antar iman, dan menciptakan kebijakan publik yang inklusif.

BACA JUGA:Panoptikon Digital Bernama AI

Di Indonesia, nilai multikulturalisme sudah lama melekat dalam kehidupan berbangsa. Prinsip Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi manifestasi dari pengalaman sejarah panjang dalam mengelola keberagaman suku, budaya, dan agama. Meski demikian, tantangan baru di era digital dan politik identitas menuntut pembacaan ulang terhadap strategi multikulturalisme di masa kini.

Tantangan Keberagaman Beragama di Era Modern

Ada beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam menjaga keberagaman beragama di era modern:

1. Radikalisme dan Ekstremisme Berbasis Agama

Teknologi informasi, di satu sisi, memudahkan penyebaran pemahaman keagamaan secara luas. Namun, di sisi lain, juga menjadi medium bagi kelompok-kelompok ekstrem yang menyebarkan narasi intoleransi. Generasi muda, yang aktif di dunia digital, rentan terpapar pemahaman sempit dan hitam-putih tentang agama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: yuni sari amalia