Menghadirkan Damai: Belajar Mencintai di Tengah Badai Kebencian

Meski sering dianggap sebagai produk pemikiran Barat, praktik multikulturalisme sesungguhnya telah lama hadir di berbagai masyarakat Asia. Di Indonesia, prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk lokal dari semangat ini. --iStockphoto
Lembaga keagamaan dan universitas memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong riset, pelatihan, dan aksi nyata terkait multikulturalisme. Kolaborasi lintas lembaga dapat menciptakan ekosistem sosial yang lebih inklusif dan sadar akan pentingnya keberagaman.
BACA JUGA:Pengangguran Kian Meluas, Ekonomi Syariah Bisa Jadi Jalan Tengah
Refleksi Akhir: Menuju Peradaban yang Lebih Damai
Multikulturalisme bukan sekadar konsep akademik atau slogan kebijakan. Ia adalah praktik sehari-hari dalam cara kita menyapa tetangga yang berbeda iman, dalam cara kita bersikap saat perayaan hari besar agama lain, dan dalam cara kita membela mereka yang tertindas atas nama keimanan mereka.
Di tengah polarisasi yang kian mengkhawatirkan, kita tidak punya pilihan lain selain kembali ke nilai-nilai dasar kemanusiaan. Perbedaan bukan ancaman, melainkan anugerah. Agama, dalam esensi terdalamnya, tidak pernah mengajarkan kebencian. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk memahami, kerendahan hati untuk menerima, dan komitmen untuk menjaga damai.
Seperti yang disampaikan Nelson Mandela: “Tak seorang pun terlahir dengan kebencian terhadap orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Kebencian adalah sesuatu yang dipelajari. Dan jika orang bisa belajar untuk membenci, maka mereka juga bisa diajarkan untuk mencintai, karena cinta datang secara lebih alami ke dalam hati manusia dibandingkan kebenciannya.”
BACA JUGA:Rumah Gemah Ripah dan Upaya Menumbuhkan Budaya Apresiasi
Kutipan ini menjadi pengingat penting bagi kita semua: bahwa membangun masyarakat yang inklusif dan damai bukanlah utopia, melainkan kemungkinan yang nyata—asal kita bersedia belajar mencintai, bukan membenci, dan memiliki keberanian untuk bersikap kritis terhadap ajaran yang menanamkan kebencian.
Multikulturalisme dalam keberagaman beragama di era modern bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan. Ia menuntut keterlibatan semua pihak baik individu, komunitas, negara, maupun dunia internasional untuk menjadikan dunia sebagai rumah bersama yang layak dan adil untuk semua. (*)
*) Yuni Sari Amalia adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: yuni sari amalia