Menghadirkan Damai: Belajar Mencintai di Tengah Badai Kebencian

Menghadirkan Damai: Belajar Mencintai di Tengah Badai Kebencian

Meski sering dianggap sebagai produk pemikiran Barat, praktik multikulturalisme sesungguhnya telah lama hadir di berbagai masyarakat Asia. Di Indonesia, prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk lokal dari semangat ini. --iStockphoto

BACA JUGA:Pendidikan Gratis vs Pendidikan Bermutu

2. Politisasi Agama

Agama sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan dalam kontestasi politik. Politisasi agama tidak hanya merusak nilai luhur spiritualitas, tetapi juga menimbulkan polarisasi tajam di tengah masyarakat. Multikulturalisme menjadi sulit tumbuh ketika agama dijadikan komoditas politik.

3. Diskriminasi terhadap Minoritas

Meski konstitusi menjamin kebebasan beragama, dalam praktiknya masih terjadi diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas. Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah, ujaran kebencian, hingga kekerasan fisik menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam mengaktualisasikan multikulturalisme sejati.

4. Kurangnya Literasi Agama Lintas Keyakinan

Banyak konflik berakar pada ketidaktahuan atau kesalahpahaman terhadap agama lain. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat cenderung membangun stigma dan prasangka. Padahal, pemahaman lintas iman justru dapat memperkaya cara pandang dan memperkuat kohesi sosial.

BACA JUGA:Pengorbanan Sebagai Puncak Penghambaan

5. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Ketidaksetaraan ekonomi sering kali memperparah perpecahan antar kelompok agama. Dalam banyak kasus, kelompok minoritas secara struktural mengalami marginalisasi, yang kemudian berdampak pada relasi sosial yang tidak setara. Multikulturalisme tidak bisa berjalan optimal tanpa keadilan ekonomi dan sosial.

Strategi Memperkuat Multikulturalisme dalam Keberagaman Beragama

Dalam semangat Asta Cita ke-8, yaitu “Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”, strategi untuk mewujudkan multikulturalisme dalam ranah keagamaan perlu diperkuat melalui upaya nyata yang menjamin kesetaraan, membangun dialog antar iman, dan menolak segala bentuk diskriminasi berbasis keyakinan.

Pendekatan ini penting tidak hanya untuk menjaga kohesi sosial, tetapi juga untuk memperkuat fondasi keberagaman sebagai identitas bangsa. Untuk itu, diperlukan strategi menyeluruh dan berkelanjutan, antara lain:

BACA JUGA:Moderasi Beragama Kunci Harmoni dan Perdamaian di Tengah Keberagaman

1. Pendidikan Multikultural Sejak Dini

Sekolah harus menjadi ruang aman untuk mempelajari perbedaan dan mengasah empati terhadap sesama. Kurikulum pendidikan perlu menekankan pentingnya toleransi, saling menghargai, serta mengkritisi praktik diskriminatif. Pendidikan agama juga harus diarahkan pada pemahaman universal tentang kasih sayang, perdamaian, dan keadilan sosial.

2. Penguatan Dialog Antar Iman

Ruang-ruang dialog harus diperluas, baik dalam bentuk diskusi akademik, kegiatan sosial lintas agama, maupun media digital. Dialog yang setara dan terbuka dapat mematahkan stereotip serta membangun jembatan pengertian. Para pemuka agama memiliki peran strategis dalam hal ini sebagai fasilitator dialog dan penenang situasi ketika konflik muncul.

3. Kebijakan Publik yang Inklusif

Pemerintah harus hadir dengan regulasi yang adil dan menjamin hak semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama. Perlindungan terhadap kelompok minoritas tidak boleh hanya menjadi retorika, melainkan diwujudkan dalam tindakan konkret: pembukaan akses terhadap layanan publik, perlindungan hukum, serta keadilan sosial.

BACA JUGA:RUU Perampasan Aset dan Skenario Terburuk untuk Demokrasi Indonesia 2025

4. Pemanfaatan Media sebagai Alat Edukasi Sosial

Media massa dan media sosial memegang kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi masyarakat melalui konten positif yang menekankan pentingnya toleransi, nilai-nilai kemanusiaan universal, serta contoh praktik hidup berdampingan secara damai.

5. Revitalisasi Kearifan Lokal

Banyak komunitas lokal yang memiliki tradisi hidup berdampingan antaragama secara harmonis, seperti tradisi Grebeg, Sedekah Laut, dan Ngayah. Kearifan ini perlu digali, diperkuat, dan dijadikan inspirasi nasional dalam membangun praktik multikulturalisme dari bawah ke atas.

6. Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan Tinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: yuni sari amalia