Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?
ILUSTRASI Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam laporan yang diterbitkan International Monetary Fund (IMF) yang tercantum dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2024 yang berjudul Policy Pivot, Rising Threats (Pergeseran Kebijakan, Meningkatnya Ancaman), telah diprediksi bahwa dunia akan makin bergantung pada kelompok ekonomi berkembang BRICS dalam mendorong ekspansi pertumbuhan ekonominya ketimbang berorientasi pada negara-negara Barat yang tergabung dalam G-7.
Terdapat sejumlah perbedaan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari laporan terakhir IMF beberapa bulan belakangan ini. Salah satu yang paling diperhitungkan adalah terdapat peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dalam lima tahun mendatang dari negara-negara BRICS.
Berdasar perhitungan itu pula, kontribusi ekonomi dari negara-negara maju di kelompok G-7, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, diprediksi IMF justru akan menurun.
POLARISASI ALIANSI EKONOMI
Salah satu kesepakatan ekonomi penting yang telah dihasilkan dari KTT BRICS adalah melahirkan Deklarasi Kazan pada Oktober 2024.
Yakni, wacana penggunaan mata uang lokal dalam transaksi keuangan (LCS = local currency settlement) antara anggota dan mitra dagangnya dan mengurangi intensitas penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat (USD).
Rusia dan Tiongkok serta mayoritas anggota kaukus BRICS menyadari bahwa mereka masih memiliki ketergantungan tinggi atas penggunaan mata uang dolar AS.
Terdapat sejumlah alasan mengapa penggunaan LCS mendapat sambutan positif meski belum memungkinkan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Pertama, penggunaan mata uang regional dalam jumlah besar dalam perdagangan dan investasi berpotensi akan mengurangi dominasi dolar AS dan mengurangi eksposur kawasan terhadap kondisi moneter dan kebijakan moneter AS.
Hal itu akan menciptakan aliran modal yang tidak stabil dari kelebihan likuiditas yang diciptakan kebijakan pelonggaran kuantitatif dan jalur kenaikan suku bunga.
Kedua, fakta bahwa Rusia merupakan produsen utama berbagai komoditas penting yang sebetulnya juga dibutuhkan negara-negara Barat, mulai minyak, gas, hingga pupuk.
Dengan begitu, AS harus berpikir seribu kali jika hendak menerapkan sanksi dagang ketika Deklarasi Kazan melahirkan inisiatif penggunaan LCS dan mengurangi dolar AS.
Hal tersebut telah dibuktikan di tengah memanasnya hubungan Rusia dengan beberapa negara Barat terkait Ukraina, Tiongkok muncul dengan melakukan transaksi jual beli gas Rusia yang menyepakati kontrak memasok gas untuk Tiongkok selama 30 tahun.
Gas tersebut diatur oleh Gazprom, perusahaan monopoli atas ekspor gas Rusia. Gazprom akan memasok perusahaan energi Tiongkok CNPC sebanyak 10 miliar meter kubik gas per tahun.
Meski Tiongkok dan Rusia mengeklaim bahwa kesepakatan transaksi jual beli gas hanya sebuah aliansi energi, kolaborasi dua negara itu, menurut Barat, tidak lain hanyalah kedok aliansi militer.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: