Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?

Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?

ILUSTRASI Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ketiga, dengan potensi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global anggota mencapai angka 37 persen menguasai PDB dunia, BRICS jauh melampaui PDB negara-negara yang bergabung dalam kaukus ekonomi G-7 yang beranggota Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. 

Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin membandingkan perubahan dalam pangsa PDB global antara G-7 dan BRICS. Ia mengatakan, PDB G-7 terus menyusut dari 1992 sebesar 45,5 persen menjadi 16,7 persen pada 2024. 

PDB agregat aliansi BRICS lebih dari 60 triliun dolar AS atau setara Rp 900.000 triliun (asumsi USD 1 = Rp 15.000) dan total pangsa pasar global melebihi indikator pertumbuhan aliansi negara G-7. 

Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 40 persen pertumbuhan PDB global dan seluruh dinamika ekonomi global telah diperhitungkan negara-negara BRICS.

Munculnya aliansi ekonomi yang dimotori Rusia dan Tiongkok itu, sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pihak, kian menempatkan situasi global ke arah polarisasi kekuatan ekonomi yang makin eskalatif dan berpotensi saling melakukan politik embargo maupun perang tarif. 

Dengan demikian, ketika Indonesia bergabung ke aliansi BRICS di saat hubungan Tiongkok dan Rusia berada pada top form, hal itu berisiko ditafsirkan sebagai bentuk ”perlawanan halus” terhadap Barat.

Pandangan bias Barat terhadap pengalaman politik Indonesia di masa lalu yang pernah merintis poros politik Jakarta-Beijing-Moskow berpotensi melahirkan tindakan retaliasi AS dan Barat di sektor perdagangan internasional.  

Poros tersebut merupakan rumusan politik luar negeri Indonesia ala Soekarno yang cenderung anti-Barat dan condong kepada negara-negara sosialis-komunis meski mengusung politik luar negeri bebas aktif. 

Poros Jakarta-Beijing-Moskow ala Soekarno di era Orde Lama juga menandai perubahan kebijakan pendekatan nonkapitalis dan koeksistensi damai ke arah anti-imperialisme dan kemandirian sesuai gagasan Beijing (Tornquist 2011:67).

PELUANG DAN TANTANGAN

Langkah strategis Indonesia dengan bergabung ke dalam keanggotaan BRICS, menurut pertimbangan sejumlah ekonom, membawa banyak peluang yang sangat menguntungkan. 

Pertama, Indonesia memiliki kesempatan luas memasuki pasar yang berpopulasi 3,5 miliar jiwa atau 42 persen dari total populasi dunia. 

Kesempatan membuka peluang kerja sama dengan Rusia sebagai produsen energi, India di sektor teknologi digital, dan Tiongkok dalam kerja sama sektor infrastruktur serta Afrika Selatan dalam pertambangan. 

Kedua, penguatan kerja sama Selatan-Selatan berpotensi mereduksi ketergantungan pasar ekspor Barat yang cenderung restriktif terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia. 

Ketiga, menawarkan alternatif pendanaan melalui new development bank (NDB) yang mampu mendukung proyek infrastruktur Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: