Pertamax Oplosan: Defisit Kredibilitas dan Mengerasnya Batas Antagonistik

ILUSTRASI Pertamax Oplosan: Defisit Kredibilitas dan Mengerasnya Batas Antagonistik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:H-6 Lebaram Konsumsi BBM Pertamina Melonjak, Pertamax Turbo Naik 90 Persen
BACA JUGA:Campuran Pertamax Bioetanol Dirilis Bulan Ini, Sudah Diuji di Surabaya
Itu jelas mengandung sindiran yang mengarah pada kebijakan pemerintah yang tidak transparan dalam soal distribusi bahan bakar. Meme itu tidak hanya menggambarkan kekecewaan masyarakat, tetapi juga menggugah kesadaran bahwa permasalahan itu lebih dari sekadar isu bahan bakar.
Lebih dari itu, hal tersebut merupakan sebuah fenomena ketidakjujuran yang membuat publik makin skeptis terhadap pemerintah.
Pernyataan pemerintah yang mengaitkan kerugian negara dalam kasus Pertamax oplosan, seperti dalam judul pemberitaan Korupsi Pertamina Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun atau Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Negara Dirugikan Rp 193,7 Triliun, makin mengusik kesadaran publik.
BACA JUGA:Belum Usai! LBH Jakarta Terima 526 Aduan Terkait BBM Oplosan
BACA JUGA:Buntut Isu Pengoplosan BBM, Komisi VI DPR Jadwalkan Panggil Pertamina pada 12 Maret 2025
Judul-judul tersebut menyiratkan posisi masyarakat sebagai subjek dalam sistem demokrasi yang paling dirugikan diabaikan begitu saja. Ada kesan bahwa kerugian yang ditanggung masyarakat tidak dianggap penting.
Kasus Pertamax oplosan itu menambah panjang daftar kejatuhan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Masyarakat yang selama ini menjadi objek dari kebijakan pemerintah kini merasa dirugikan oleh kebijakan yang tidak transparan.
Ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan klarifikasi yang memadai mengenai permasalahan itu, baik dalam bentuk penjelasan terbuka maupun aksi nyata, membuat rasa percaya masyarakat kian tipis.
BACA JUGA:Begini Skema Pengoplosan BBM Pertamina Menurut Kejagung
BACA JUGA:Direktur PT Pertamina Patra Niaga Jadi Tersangka, Diduga Oplos Pertalite Jadi Pertamax
Hal itu juga diperburuk oleh media yang kadang ikut larut dalam sensasionalisme dan latah menulis ulang pernyataan sumber berita resmi.
Media seharusnya berperan sebagai penjaga demokrasi yang objektif, tetapi sering kali terjebak dalam pemberitaan yang hanya mengandalkan angka besar dan judul yang provokatif tanpa menyajikan penjelasan yang menyeluruh. Selain itu, daya kritis media mulai disorot masyarakat.
BATAS ANTAGONISTIK: KETEGANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: