Ramadan Kareem 2025 (15): Hilyatul Auliya

Ramadan Kareem 2025 (15): Hilyatul Auliya

Ramadan ini memberikan nuansa yang tematik dengan membaca hikayat para ulama, sang guru peradaban. Tiba-tiba ingatan menerabas batas waktu. Lamunan saya teringat sosok Gus Dur. --iStockphoto

HARIAN DISWAY - Ramadan ini sengaja saya ingin menikmati dua kitab yang masing-masing berjumlah 26 jilid. Lumayan tebal-tebal. Total ada 52 jilid.

Yang pertama membaca Tafsir Ath-Thabari karya besar Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari yang populer dengan sebutan Ibnu Jarir ath-Thabari. Sang cendikia ini lahir 224 H dan wafat di 310 H.

Berarti secara historis hidup pada zaman Raja Al-Watsiq Billah (dinasti Abbasiyah). Yang kedua membaca karya agung Abu Nu’aim Al-Ashfahani yang berjudul Hilyatul Auliya. Beliau mengupas sejarah ulama salaf secara mengagumkan.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (14): Momentum Bertahannuts

Ramadan ini memberikan nuansa yang tematik dengan membaca hikayat para ulama, sang guru peradaban. Tiba-tiba ingatan menerabas batas waktu. Lamunan saya ingat sosok Gus Dur.

Terbersitlah saat itu, dalam deret waktu, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ramai oleh khalayak yang berziarah ke makam Gus Dur. Umat dari seantero Nusantara berikhtiar hadir dalam rangkaian agenda haul kewafatannya.

Atau hariannya dan termasuk di bulan Ramadan ini. Sebuah saat yang meneguhkan Gus Dur punya magnit spiritual bagi umat Ini memang sosok yang sangat fenomenal dalam ruang hati saya.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung

Di tanggal 19-20 Oktober 1999 saat pemilihan dan pelantikan Presiden Republik Indonesia yang dipanggulnya, saya ikuti sambil menyimak siaran langsung TV dengan ketertegunan. KH Abdurahman Wahid bertakhta di singgasana paling diperebutkan para politisi untuk menggapainya, Presiden RI.

Nama dan kiprahnya merasuk dalam gelombang pikiran bangsa dan saya baru menyinambungkan indera ketertarikan sejak bersekolah di Madrasah Aliyah, waktu Gus Dur didaulat menjadi Ketua Umum PBNU 1984 hasil Muktamar di Situbondo.

Jargon yang mengekspresikan semangat pergerakan NU di bawah nahkodanya adalah Kembali Ke Khittah. Alun-alun Lamongan menjadi saksi bersama 15 ribu lebih jamaah yang menghadiri tausiahnya.
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ramai oleh khalayak yang berziarah ke makam Gus Dur. Umat dari seantero Nusantara berikhtiar hadir dalam rangkaian agenda haul kewafatannya. --iStockphoto

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (12): Ramadan dan Ingatan Nareswari

Saya merekam dengan menggunakan tape recorder sebagai  anak Madrasah Aliyah kelas satu. Pidato di Alun-alun Lamongan itu membekas dengan tema yang membincangkan politik nasional dalam genggam kuasa Presiden Soeharto.

FORDEM muncul menjadi “institusi sosial” dan kendaraan pergerakan yang dianggap laing demokratis, yang digawanginya, dan sangat menarik minat “diintai” para mahasiswa, termasuk saya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: