Overconfidence, Tantangan Masa Depan Strategi Perusahaan

Overconfidence, Tantangan Masa Depan Strategi Perusahaan

ILUSTRASI Overconfidence, Tantangan Masa Depan Strategi Perusahaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:HGB di Laut Sidoarjo sejak 1996, Diduga Milik Dua Perusahaan Properti

Sebagai contoh, perusahaan teknologi yang terlalu percaya diri dengan produknya sering kali mengabaikan inovasi atau tren pasar yang berubah. Mereka percaya bahwa posisi dominan di pasar akan bertahan tanpa perlu beradaptasi. Padahal, industri teknologi berkembang dengan sangat cepat. 

Overconfidence itu sering kali menghalangi perusahaan untuk melakukan riset lebih lanjut, mendengarkan umpan balik dari pelanggan, atau bahkan mengakui kesalahan dalam strategi produk mereka. 

Akibatnya, ketika tren baru muncul dan pesaing berhasil menciptakan produk yang lebih inovatif, perusahaan-perusahaan yang terjebak dalam bias itu sering kali tertinggal dan mengalami penurunan daya saing.

BACA JUGA:Prabowo Bertemu Pimpinan Perusahaan AS, Tingkatkan Kerjasama dan Nilai Investasi di Indonesia

BACA JUGA:Prabowo Bertemu dengan Para Petinggi Perusahaan Besar AS, Minta Dukung Terus Pembangunan Indonesia

Selain overconfidence, inertia problem menjadi tantangan besar dalam pengambilan keputusan strategis perusahaan. Inertia problem mengacu pada resistansi terhadap perubahan dalam organisasi. 

Banyak perusahaan yang enggan meninggalkan zona nyaman mereka meski perubahan diperlukan untuk bertahan di pasar yang kompetitif.

Fenomena itu sering kali diperparah oleh negative psychology inertia, yakni ketakutan akan kegagalan membuat individu atau kelompok memilih untuk mempertahankan status quo (kondisi atau praktik yang sudah berlangsung dan cenderung dipertahankan) meskipun mungkin ada kebutuhan untuk perubahan atau inovasi. Mempertahankan status quo sering kali terjadi karena kenyamanan, kebiasaan, atau ketakutan akan risiko dari perubahan. 

Salah satu contoh nyata dari inertia problem adalah perusahaan ritel yang gagal beradaptasi dengan perkembangan e-commerce. Banyak perusahaan ritel tradisional yang terlalu lama bertahan dengan model bisnis lama walaupun sudah terlihat jelas bahwa tren belanja online terus meningkat. 

Ketika mereka akhirnya mencoba untuk beralih ke strategi digital, persaingan sudah makin ketat dan banyak pesaing baru yang sudah lebih dahulu menguasai pasar. 

Kegagalan untuk beradaptasi itu tidak hanya terjadi pada perusahaan ritel, tetapi juga pada industri lain seperti perbankan, manufaktur, dan layanan keuangan. Perusahaan-perusahaan yang tidak mampu melakukan transformasi digital dengan cepat cenderung kehilangan daya saing dan akhirnya tergerus oleh kompetitor yang lebih inovatif. 

Meski rasa percaya diri penting dalam kepemimpinan bisnis, overconfidence dapat berdampak negatif pada pengambilan keputusan strategis yang tidak optimal. Pengabaian risiko sering terjadi. Keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan risiko dengan baik dapat berakibat pada kegagalan proyek atau kerugian finansial yang signifikan. 

Selain itu, overconfidence dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Keyakinan berlebihan dapat mengarah pada investasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau kapasitas perusahaan.

Ketidakmampuan menerima umpan balik juga menjadi permasalahan utama yang disebabkan overconfidence. Pemimpin yang terlalu percaya diri cenderung mengabaikan masukan dari tim, pelanggan, atau pihak eksternal yang dapat memberikan perspektif berharga. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: