Mudik: Epos Perantau

ILUSTRASI Mudik: Epos Perantau.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
”Mudik, bukan sekadar pulang, melainkan ritual kembali ke akar budaya dan sejarah keluarga.”
DIPERKIRAKAN puncak mudik Lebaran tahun 2025 jatuh pada 28 Maret, bertepatan dengan hari libur yang telah ditetapkan pemerintah. Kementerian Perhubungan memprediksi setidaknya 146,8 juta orang akan melakukan mudik dari berbagai kota ke daerah asal di seluruh Indonesia dengan berbagai moda transportasi.
Mudik selalu identik dengan kemacetan ekstrem, lonjakan harga barang, hingga kecelakaan tinggi.
Namun, itu tidak pernah menyurutkan para pemudik untuk pulang kampung. Bisa jadi, segala usaha susah payah yang dilakukan di kota akan habis hanya untuk momen mudik yang hanya sekejap. Namun, tidak ada yang peduli demi terpenuhinya rindu kampung halaman.
BACA JUGA:Mudik Nataru, Berburu Cuan di Balik Redistribusi Pendapatan
BACA JUGA:Tradisi Mudik Gairahkan Dinamika Ekonomi Masyarakat
Mudik bukan sekadar perjalanan pulang kampung. Ia merupakan simfoni sosial yang telah mengakar sejak masa kerajaan, diperkuat dinamika ekonomi, digerakkan nostalgia yang tek lekang oleh waktu. Di balik romantisme tradisi mudik, ada kisah panjang sejarah dan dampak ekonomi yang tak bisa diabaikan.
Dari berbagai referensi, penggunaan kata ”mudik” muncul di ruang publik sekitar tahun 1970-an. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis W.J.S. Poerwadarminta tahun 1976, telah disebutkan kata ”mudik” yang diartikan sebagai ”pulang ke udik” atau pulang ke kampung halaman.
Fenomena itu sejalan dengan pembangunan kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta. Karena itu, pada periode tersebut banyak pendatang dari luar Jakarta untuk merantau mengadu nasib baik sebagai pekerja maupun untuk belajar.
BACA JUGA:Mudik, Masalahmu hingga Kini
BACA JUGA:Mudik dan Arus Balik
Maka, tidak heran istilah mudik berangkat dari bahasa Betawi sebagai akronim ”mulih dilik” dari fenomena orang Jawa yang ada di Jakarta diartikan ”pulang sebentar”.
Ketika momen-momen tertentu para perantau tersebut akan pulang sebentar ke kampung halaman masing-masing bertemu dengan keluarga dan sanak saudara sambil berbagi cerita sukses di perantauan Jakarta.
Meski demikian, penggunaan kata mudik yang melekat pada momen Lebaran baru booming sekitar tahun 1983 dengan adanya pemberitaan para pekerja Jakarta yang kemudian pulang kampung pada masa Lebaran dengan menyebut mudik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: