Mudik: Epos Perantau

Mudik: Epos Perantau

ILUSTRASI Mudik: Epos Perantau.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Mudik

BACA JUGA:Polisi Nggak Mudik Juga Nggak Nangis

Mulai muncul kemacetan pada fenomena mudik sehingga pemerintah mulai memberikan perhatian serius. Kemudian, istilah mudik jamak digunakan masyarakat Indonesia sampai saat ini hanya pada momen Lebaran. 

Meski istilah mudik baru popular pada tahun 1970-an, secara sosial dan tradisi, fenomena itu telah ada sejak masa kerajaan. Dalam berbagai catatan sejarah, sistem politik Kerajaan Majapahit sering menempatkan pejabat dan prajurit di daerah kekuasaan yang jauh dari pusat kerajaan. 

Pada perayaan besar kerajaan, mereka akan ”pulang” melalui jalan setapak untuk melaporkan tugasnya kepada pusat kerajaan. Bentuk pengabdian kepada pusat kerajaan diwujudkan dalam kepulangan para pejabat kerajaan sambil membawa upeti hasil dari daerah yang dikuasai para pejabat tersebut.

BACA JUGA:Ekonomi Mudik

BACA JUGA:Mudik Balik

Pada masa kerajaan Islam seperti Demak, Mataram Islam, dan Banten juga telah mengenal perjalanan pulang karena dilatarbelakangi oleh pertama, faktor hubungan dengan Idulfitri sebagai momen silaturahmi dan mempererat hubungan keluarga. 

Meskipun daerah kekuasaan tidak seluas masa Majapahit, banyak pegawai kerajaan yang ditempatkan di daerah-daerah kekuasaan yang jauh dari pusat kerajaan. Mereka  akan pulang kampung pada saat momen Idulfitri. 

Mereka menghadap kepada sultan sambil menyerahkan upeti. Pada momen itu, sultan juga akan memberikan hadiah berupa koin emas untuk para pejabat sebagai kemurahan raja di hari raya Idulfitri. 

BACA JUGA:Mudik Transformatif

BACA JUGA:Dampak Ekonomi Mudik

Fenomena penempatan orang keraton di daerah kekuasaan juga masih terjadi di Mataram Islam. Para abdi dalem dan rakyatnya yang sedang bertugas di luar keraton akan melakukan perjalanan pulang saat garebek atau sekaten. Mereka akan mengunjungi keluarga sekaligus berziarah ke makam leluhur.  

Kedua, mobilitas penduduk akibat jaringan perdagangan dan ulama.  Kegiatan perdagangan pada masa kerajaan Islam sangat mendominasi. Para pedagang itu melakukan perjalanan ke tempat yang jauh dari kampung asal. 

Tidak jarang mereka harus melintasi pulau dengan berlayar menggunakan kapal. Dengan begitu, ketika Idulfitri mereka sering pulang kampung guna bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung. Selain itu, kesadaran untuk mengenyam pendidikan Islam juga tinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: