Kiriman Bangkai Hewan: Kekerasan Vs Kebebasan Pers

Bangkai tikus dengan kepala terpenggal yang dikirimkan ke kantor Tempo.-disway.id-
--
Oleh: Hwian Christianto,
Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Surabaya
SUDAH selayaknya seorang menerima kiriman akan merasa senang. Tidak demikian dengan kasus kiriman kepala babi tanpa telinga disusul paket potongan bangkai tikus kepada Media Tempo. Publik pun kaget bercampur geram menyaksikan berita itu, sebagai penghinaan atau tekanan?
Jika tindakan represif biasanya dilakukan dengan ancaman tertulis, terbaru doxing (penyebaran informasi pribadi insan pers ke publik). Tak disangka di zaman teknologi informasi ini, serangan terhadap pers masih menggunakan kekerasan fisik.
Pelaku menyangka bahwa kebebasan pers mampu dihambat dengan bau bangkai hewan. Justru sebaliknya, kiriman bangkai hewan itu menjadi clue adanya ‘bau bangkai’ sesungguhnya dari pelaku.
Kekerasan sebagai Primadona
Masih segar dalam memori, Jurnalis Nurhadi pada Maret 2021 sempat disekap saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Kontributor VivaNews juga mengalami penusukan akibat pemberitaan dugaan pelecehan seksual oknum aparat negara.
Berikut pengalaman pahit, jurnalis Muhammad Asrul yang dipidana 3 bulan terkait pemberitaan dugaan korupsi di Palopo. Ada dua hal yang selalu berulang, terancam dan mengancam (kekerasan). Pihak tertentu merasa terancam nama baik dan stigma negatif seolah merasa diadili oleh pers (trial by the press).
Uniknya, penggunaan kekerasan masih menjadi primadona pembungkam pers. Kekerasan menjadi simbol kekuasaan hakiki menegaskan subordinasi atas pers. Tren penggunaan kekerasan jelas menunjukkan betapa masih primitifnya upaya seseorang mencari solusi. Seolah cara elegan melalui mekanisme hak jawab dan hak tolak tidak memuaskan.
BACA JUGA:Kapolri Perintahkan Bareskrim Usut Teror Kepala Babi yang Dikirim ke Kantor Tempo
BACA JUGA:Tempo Sempat Dapat Ancaman dari Media Sosial Sebelum Diteror dengan Bangkai Tikus Terpenggal
Kondisi ini sudah diperkirakan jika mengingat posisi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dinilai Baik sebesar 72,9 persen di tahun 2023 lalu. Dari 3 indikator IDI, tampak bahwa Indikator Kebebasan Sipil (Civil Liberties) secara khusus rekognisi baik pelindungan dan perlindungan hak berpendapat masih belum terpenuhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: