Melangkah di Jalan Salib: Sejarah, Simbol, dan Makna Paskah
Jumat Agung Gereja Katedral HKY Surabaya. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY
HARIAN DISWAY – Setiap Jumat Agung, jutaan umat Kristiani memadati gereja-gereja, membawa salib kayu, melantunkan doa dalam diam, menapak jejak demi jejak yang dipercaya pernah dilalui Yesus menuju Kalvari.
Ialah prosesi Jalan Salib—ritual hening dan penuh perenungan, yang tak hanya menyentuh sisi spiritual, tetapi juga sejarah iman itu sendiri.
Di kota-kota besar seperti Surabaya, prosesi itu dimaknai lebih dari sekadar upacara. Jalan Salib menjadi perjalanan batin.
Sebuah penziarahan yang tak hanya menyusuri simbol-simbol penderitaan, tapi juga menghidupkan kembali rasa syukur, harapan, dan refleksi terhadap makna pengorbanan.
Tapi, bagaimana sebenarnya sejarah Jalan Salib? Mengapa 14 perhentian ini begitu penting, dan apa maknanya di tengah dunia modern ini?
BACA JUGA:Teatrikal Jalan Salib Gereja Santo Vincentius a Paulo Surabaya Padukan Budaya Jawa dan Lintas Agama
BACA JUGA:Warga Kristen Palestina Rayakan Paskah Dengan Perasaan Was Was
Jumat Agung Gereja Katedral HKY Surabaya. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY
Awalnya, Jalan Salib bukanlah bagian dari liturgi gereja. Ia lahir dari sebuah kerinduan—kerinduan para peziarah yang datang ke Yerusalem untuk menyusuri jejak langkah Yesus di hari-hari terakhir-Nya.
Sekitar abad ke-4, ketika Kekristenan mulai diterima secara resmi di Kekaisaran Romawi, muncul tradisi mengunjungi situs-situs kudus di Yerusalem, termasuk Via Dolorosa—jalan penderitaan yang dipercaya sebagai jalur Yesus memanggul salib menuju bukit Golgota.
Di sanalah titik awal Jalan Salib dimulai. Para peziarah mengikuti rute itu sambil berdoa dan merenung, hingga pada abad ke-13, ordo Fransiskan yang diberi tanggung jawab menjaga tempat-tempat suci, mulai membakukan bentuk prosesi ini.
Namun, tidak semua orang bisa menziarahi Yerusalem. Maka, tradisi Jalan Salib mulai direplikasi di berbagai belahan dunia. Dibangunlah 14 perhentian di halaman gereja atau sepanjang rute tertentu, masing-masing menggambarkan momen dalam kisah sengsara Yesus.
BACA JUGA:Tri Hari Suci, Makna di Balik Kamis Putih, Jumat Agung, dan Malam Paskah
BACA JUGA:Mengenal Kamis Putih, Rangkaian Pra-Paskah Mengenang Peristiwa Penjamuan Terakhir
Keempat Injil tidak secara eksplisit menyebutkan semua peristiwa yang sekarang menjadi bagian dari Jalan Salib. Beberapa—seperti pertemuan Yesus dengan Veronica—berasal dari tradisi lisan dan devosi umat beriman. Tapi semuanya disusun untuk membantu umat “menghidupi” penderitaan Kristus dalam bentuk visual dan emosional.
Empat belas perhentian itu dimulai dari pengadilan Yesus di hadapan Pilatus, diikuti oleh perjalanan panjang memanggul salib, jatuhnya Ia di tengah jalan, pertemuannya dengan ibu-Nya, dan peristiwa-peristiwa menyayat hati lainnya. Perhentian terakhir adalah ketika Yesus dimakamkan.
Setiap stasi—istilah untuk satu perhentian—bukan sekadar pengingat akan penderitaan, tapi juga ajakan untuk merefleksikan kehidupan pribadi. Apa salibku hari ini? Di mana aku jatuh, dan siapa Veronica yang pernah menghapus air mataku?
Di Indonesia, tradisi Jalan Salib mulai dikenal luas setelah kehadiran para misionaris dan ordo-ordo religius seperti Serikat Yesus dan Fransiskan. Kini, hampir setiap gereja memiliki jalur Jalan Salib, terutama yang dimanfaatkan selama masa Pra-Paskah dan Jumat Agung.
BACA JUGA:Tradisi - Tradisi Sebelum Perayaan Paskah dari Berbagai Belahan Dunia
BACA JUGA:6 Hal yang Perlu Dihindari Saat Paskah
Di beberapa tempat, Jalan Salib digelar secara besar-besaran. Seperti di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, umat berjalan kaki menyusuri kota dalam diam, membawa patung Yesus dan Bunda Maria. Di Surabaya, beberapa gereja mengadakan prosesi malam hari dengan lilin, lagu-lagu pujian, dan bacaan refleksi di tiap perhentian.
Jalan Salib tidak berhenti di makam. Dalam versi kontemporer, beberapa gereja menambahkan “Perhentian ke-15”—kebangkitan Yesus. Karena memang, inti dari Jalan Salib bukan hanya penderitaan, tapi harapan.
Paskah bukan hanya tentang kemenangan Yesus atas maut. Ia adalah ajakan untuk bangkit. Maka, Jalan Salib menjadi latihan batin untuk berani menanggung salib pribadi: luka, kegagalan, kehilangan, dan ketakutan. Dan di ujung jalan, selalu ada harapan.
Dalam dunia yang kerap mempercepat segalanya, Jalan Salib memanggil kita untuk melambat. Untuk mengingat bahwa setiap penderitaan punya arti. Bahwa air mata bukan kelemahan. Bahwa memikul salib bukan kekalahan, tapi keberanian untuk tetap melangkah.
Pernahkah kita berpikir, mengapa Jalan Salib tidak ditulis dalam bentuk lari cepat? Mengapa harus perhentian demi perhentian?
Karena hidup pun seperti itu. Tidak semua harus selesai secepatnya. Ada momen untuk berhenti, merenung, dan mengerti. Jalan Salib bukan jalan orang kalah. Ia adalah jalan orang yang berani menatap luka, menyusuri duka, dan menemukan terang di ujung gelap.
Maka menjelang Paskah ini, mari berjalan pelan-pelan. Seperti Yesus yang jatuh, tapi tetap bangkit.
Karena mungkin, dalam tiap perhentian itulah, kita benar-benar belajar menjadi manusia. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: