Mewaspadai Ancaman Deindustrialisasi di Balik Pelonggaran Impor

Mewaspadai Ancaman Deindustrialisasi di Balik Pelonggaran Impor

ILUSTRASI Mewaspadai Ancaman Deindustrialisasi di Balik Pelonggaran Impor.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bagi Indonesia, AS adalah surga ekspor untuk produk tekstil dan rajutan. Selama puluhan tahun, AS menjadi pasar utama produk jersey, rajutan, hingga sepatu. Di samping produk rajutan dan turunannya, nilai ekspor minyak sawit juga melonjak tajam dalam lima tahun terakhir. 

Sektor-sektor andalan dan yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia tersebut di atas kini menghadapi ancaman hambatan signifikan. Dengan begitu, pengenaan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap barang-barang Indonesia berisiko menggerus daya saing ekspor di pasar AS. 

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada April 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Februari 2025 sebesar USD 2,347 miliar. Angka itu lebih tinggi daripada Februari 2024 yang sebesar USD 2,101 miliar dan Januari 2025 sebesar USD 2,329 miliar (yoy). 

Memasuki awal tahun 2025, total nilai ekspor Indonesia ke AS pada Januari-Februari ini tercatat mencapai USD 4,677 miliar. Angka tersebut juga lebih tinggi daripada Januari-Februari 2024 sebesar USD 4,091 miliar (yoy). 

Demi mengantisipasi potensi turunnya pendapatan dari sejumlah sektor unggulan akibat tarif resiprokal AS, Presiden Prabowo telah mengutus delegasi untuk melakukan negosiasi tarif dengan tim ekonomi pemerintahan Presiden Trump yang terdiri atas Menkeu Sri Mulyani, Menko Perekonomian Arilangga Hartarto, dan Menlu Sugiono.

BERPOTENSI BUMERANG

Mengutip penjelasan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sosialisasi dan dialog dengan asosiasi serta pelaku usaha terkait kebijakan tarif resiprokal AS pada 7 April 2025, gagasan pelonggaran impor yang akan diwacanakan pemerintah perlu diiringi dengan pertimbangan saksama terhadap potensi dampak fiskal yang mengikuti. 

Berdasar kalkulasi awal, potensi kehilangan penerimaan negara dari bea masuk terhadap produk asal AS dapat mencapai sekitar Rp 7,3 triliun. Sementara itu, dari sisi bea keluar atau ekspor Indonesia ke AS, potensi kehilangan penerimaan diperkirakan sebesar Rp 423,2 miliar. 

Di atas kertas, perhitungan itu terlihat tidak terlalu signifikan karena kebijakan penurunan atau penghapusan bea masuk bisa memberikan dampak positif secara langsung bagi harga barang impor. 

Dengan menurunkan atau menghapus bea masuk, harga barang impor otomatis akan lebih murah. Kebijakan seperti itu memang lazim dipraktikkan dalam tata niaga dan perdagangan antarnegara. 

Akan tetapi, permasalahan lain yang bersifat sistemik muncul menghantui. Sebab, melonggarkan bea masuk dan menurunkan level tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sama saja menjadi bumerang yang justru mengganggu daya saing produk domestik. Bahkan, itu dapat memukul industri substitusi impor.

Menurut pandangan sejumlah ekonom, hilangnya potensi penerimaan negara akibat penurunan bea masuk dan pelonggaran level TKDN sangat mengancam kedaulatan dan kemandirian ekonomi dalam negeri. 

Pertama, TKDN sejatinya merupakan sarana yang dirancang untuk mendorong industrialisasi dalam negeri sendiri yang menopang pertumbuhan kutub-kutub ekonomi baru. 

Kedua, pelonggaran TKDN berpotensi menumbuhkan ketidakpastian bagi investor yang selama ini telah mematuhi aturan. Jika diabaikan, hal ini mendorong pemilik modal akan merelokasi basis industrinya ke negara lain yang lebih akomodatif dengan tuntutan mereka. 

Dalam kondisi ekstrem, bila terdapat mobilisasi pelaku industri keluar Indonesia secara besar-besaran, akan terjadi apa yang disebut dengan proses deindustrialisasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: