Suara dalam Kepala Ciptaan NOAH: Kritik Sosial yang Berani atau Sekadar Nostalgia 2000-an?

HARIAN DISWAY - Dalam lanskap musik Indonesia yang terus berubah, kolaborasi NOAH dan Ramengvrl dalam "Suara dalam Kepala" menjadi fenomena menarik yang patut dikaji lebih dalam.

Lagu ini tidak sekadar mempertemukan dua generasi musisi, tetapi juga memantik diskusi tentang sejauh mana karya musik bisa menjadi medium kritik sosial yang efektif. 

Yang patut dicermati adalah bagaimana lagu ini mencoba menyeimbangkan antara daya tarik nostalgia dan relevansi kontemporer. NOAH, dengan warisan musik Peterpan di era 2000-an, berusaha beradaptasi dengan menyertakan Ramengvrl sebagai representasi suara generasi Z.

BACA JUGA: Manfaat Meditasi untuk Kesehatan Mental dan Fisik

Namun, pertanyaan mendasarnya tetap: apakah kolaborasi ini berhasil menciptakan dialektika artistik yang bermakna atau hanya sekadar strategi pemasaran yang cerdik?

Lebih jauh lagi, kita perlu mempertimbangkan konteks sosial dimana lagu ini muncul. Di tengah meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia, terutama di kalangan muda, "Suara dalam Kepala" berusaha menangkap zeitgeist ini.

Namun, apakah pendekatannya cukup mendalam, atau hanya mengeksploitasi isu yang sedang tren?

BACA JUGA: Cara Menjaga Kesehatan Mental di Era Media Sosial

Analisis Lirik: Pergulatan Mental dan Ekspektasi Sosial

Lirik-lirik tajam gambarkan tekanan batin dan ekspektasi masyarakat terhadap individu.--Youtube

Lagu "Suara dalam Kepala" dibuka dengan kesan melankolis: 

Tersisa di sunyi malam

Lamunan memanjang setelah letih kehidupan

Ariel menggambarkan kelelahan hidup yang berujung pada overthinking, sebuah kondisi yang akrab di kalangan generasi muda saat ini.

BACA JUGA: 7 Kebiasaan Buruk yang Harus Ditinggalkan Gen Z agar Fisik dan Mental Lebih Sehat

Sumber: