Hari Buruh, Pendidikan, dan Tubuh Perempuan di Tengah Krisis Moral

Hari Buruh, Pendidikan, dan Tubuh Perempuan di Tengah Krisis Moral

Ketika akses pendidikan gagal memberdayakan perempuan, tubuh mereka kerap menjadi jalan terakhir dalam menghadapi realitas ekonomi yang brutal.--Getty Images

HARIAN DISWAY - Di tanah yang katanya paling taat, perempuan-perempuan muda menjajakan tubuhnya secara daring. Bukan di distrik merah Amsterdam, bukan pula di distrik hiburan Bangkok, melainkan di Banda Aceh—kota yang menyandang gelar satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara resmi.

Sebuah ironi yang tidak bisa lagi dibungkus dengan eufemisme religius. Di tengah semangat menegakkan hukum Tuhan, ada realitas sosial yang meledak dari bawah, seperti bara yang tak pernah padam: kemiskinan, pengangguran, keterasingan, dan tubuh-tubuh perempuan yang akhirnya dijadikan komoditas terakhir ketika tak ada lagi yang bisa dijual.

Bukan rahasia bahwa syariat yang ditegakkan melalui qanun, cambuk, dan razia ternyata tak mampu menandingi desakan ekonomi yang brutal.

BACA JUGA: Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan Hak Rakyat atas Pendidikan

Ketika Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menangis dalam sebuah video viral karena terlalu banyak warganya—terutama perempuan muda—yang terjerumus dalam praktik Open BO, kita menyaksikan satu hal penting: kekuasaan moral dan hukum menjadi lumpuh ketika tak ada jaring pengaman sosial dan ekonomi yang memadai.

Tangisan itu bukan sekadar emosi, tapi gejala dari sistem yang gagal.

Dalam bukunya Discipline and Punish, Michel Foucault menulis bahwa tubuh manusia adalah arena kekuasaan. Tubuh yang dikontrol, diawasi, dihukum, dan dikultuskan. Namun di Banda Aceh, tubuh perempuan adalah lebih dari sekadar subjek pengawasan; ia telah menjadi tempat paling terakhir dari pengharapan ekonomi.

BACA JUGA: Mengapa 1 Mei Diperingati sebagai Hari Buruh? Ini Sejarahnya


Ketika kemiskinan, pengangguran, dan keterasingan menjebak, tubuh perempuan menjadi komoditas terakhir yang bisa dijual di tengah sistem yang gagal melindungi mereka.--Getty Images

Ketika pendidikan tak bisa membuat mereka memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja, ketika lapangan pekerjaan menyempit dan standar hidup sosial semakin naik, maka tubuh menjadi satu-satunya “modal kerja” yang masih tersisa. Sebuah kenyataan yang pahit, dan sayangnya, sangat nyata.

Namun, ini bukan sekadar soal moral atau hukum agama. Ini soal kegagalan sistemik dalam pendidikan dan ketenagakerjaan. Dalam masyarakat yang memuliakan kesalehan, justru akses terhadap pekerjaan yang layak dan pendidikan yang relevan sering kali terbatas.

Kita hidup dalam zaman ketika ijazah tinggi tak menjamin pekerjaan, dan kerja keras tak selalu membuka pintu kesejahteraan.

BACA JUGA: Partisipasi Perempuan untuk Emansipasi

Apalagi bagi perempuan yang dibingkai dalam wacana domestik religius, yang sering kali tidak diberikan otonomi untuk mengembangkan kompetensi diri. Bagaimana mungkin mereka bersaing di dunia kerja jika sejak awal disingkirkan dari arena pembentukan kapasitas?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: