Mengenal Naoki Urasawa dan Berbagai Karya Komiknya yang Menyentil Keadaan Dunia

Mengenal Naoki Urasawa dan Berbagai Karya Komiknya yang Menyentil Keadaan Dunia

Monster, salah satu anime master piece dari Naoki Urasawa yang masih sangat relevan untuk dinikmati saat ini. --Wallpaper Cave

HARIAN DISWAY - Nama Naoki Urasawa mungkin tidak sepopuler Eiichiro Oda atau Akira Toriyama. Tapi bagi pembaca manga serius, dia adalah penulis manga kelas berat.

Urasawa juga pernah memenangkan berbagai penghargaan. Termasuk Shogakukan Manga Award dan Tezuka Osamu Cultural Prize.

Ia merupakan seniman yang tak hanya menggambar kisah. tapi juga menyingkap wajah asli dunia. Dunia yang sering kali lebih gelap dari yang kita bayangkan. Dan karyanya yang paling banyak memantik kesadaran berjudul Monster.

BACA JUGA:5 Anime Paling Dinanti yang Tayang April 2025

Monster bukan sekadar kisah thriller. Tapi juga pertanyaan terbuka tentang moralitas, identitas, dan batas antara manusia dan iblis.

Karakter utamanya Dr. Kenzo Tenma, dokter bedah yang harus memilih antara menyelamatkan seorang anak atau pejabat penting.


Naoki Urasawa, sosok dibalik karya-karya satire untuk keadaan dunia saat ini. --the outer heaven

Keputusannya menyelamatkan Johann Liebert, anaknya, menjadi titik balik hidupnya. Karena si anak ternyata adalah psikopat berdarah dingin. Ia akan menebar teror di seluruh Eropa.

BACA JUGA:5 Villain Anime Paling Jahat Sepanjang Masa

Monster adalah alegori: bagaimana pengabaian, eksperimen sosial, dan trauma masa kecil melahirkan sosok monster yang kejam.

Banyak bagian dalam Monster menyentil isu nyata: eksperimen anak yatim di bawah rezim politik, kekosongan moral masyarakat pasca-Perang Dingin, dan bagaimana media membentuk narasi tentang siapa korban dan siapa pelaku.

Apakah itu terdengar asing? Tidak. Itu adalah potret dunia kita sekarang.

BACA JUGA:Trailer Anime Devil May Cry Sajikan Aksi Dante, Vergil dan Lady

Kita hidup di zaman ketika anak-anak dibesarkan dalam kekacauan. Informasi datang dari segala arah. Trauma diwariskan secara turun-temurun.

Kejahatan bukan lagi soal kekerasan fisik. Tapi manipulasi informasi, saling lempar kesalahan, dan perang opini di dunia maya.

Urasawa sudah menggambarkan itu lebih dari 20 tahun lalu. Johann Liebert bukan manusia super. Dia hanya tahu celah gelap manusia dan tahu bagaimana menyalakannya.

BACA JUGA:Moonrise, Anime Baru Wit Studio Tayang 10 April di Netflix

Dalam era sekarang, siapa pun bisa jadi influencer. Maka, bisa jadi kita sedang hidup di dunia yang penuh dengan Johann-Johann kecil: tampan, tenang, karismatik tapi kosong di dalam.

Jika Monster bicara tentang sisi gelap individu, maka, 20th Century Boys bicara tentang sisi gelap kolektif. Manga itu bercerita tentang sekelompok teman masa kecil. Berisi cerita fiksi tentang kehancuran dunia. Dan puluhan tahun kemudian cerita itu jadi kenyataan.

Ada sekte. Ada tokoh misterius bernama Tomodachi (Sahabat). Ada virus. Ada kehancuran sistem global. Semua seperti mimpi buruk anak-anak yang menjadi nyata.

BACA JUGA:5 Anime Komedi Romantis Recommended

Bayangkan membaca 20th Century Boys setelah melewati pandemi COVID-19, melihat radikalisasi online, teori konspirasi, hingga maraknya gerakan anti-sains. Rasanya seperti dejavu. Sekali lagi, Urasawa menulis tentang masa depan dari masa lalu.

Karyanya terasa visioner. Tapi jangan salah, Urasawa bukan cenayang. Ia hanya pengamat sosial yang tajam.

Ia menangkap kegelisahan zaman, menyulingnya dalam cerita, dan menjadikannya kaca pembesar bagi kita untuk bercermin.

BACA JUGA:Rekomendasi 5 Anime untuk Ngabuburit, dari Super Cub hingga Kino’s Journey

Dalam Pluto, Urasawa mengadaptasi kisah klasik Astro Boy karya Osamu Tezuka. Astro Boy diadaptasi menjadi thriller psikologis tentang robot, kemanusiaan, dan perang. Dalam dunia Pluto, robot memiliki emosi. Tapi manusia justru kehilangan rasa.

Isu yang dibahas Pluto sangat kontemporer: kecerdasan buatan, hak robot, dan trauma pascaperang. Di tengah hebohnya diskusi soal ChatGPT, robot AI, dan perang digital, Pluto terasa seperti naskah bocoran dari masa depan.

Urasawa menolak melihat teknologi sebagai penyelamat mutlak. Ia bertanya dalam karyanya itu, “Apakah manusia masih layak menjadi pemegang kendali?” Dan kita tahu, hari ini pun, pertanyaan itu belum punya jawaban pasti.

BACA JUGA:Utahime Dream Akan Diadaptasi Menjadi Anime, Tampilkan Persaingan Utahime dalam Lagu dan Pertunjukan

Meski penuh kegelapan, karya-karya Urasawa bukan tentang keputusasaan. Ia justru mengajarkan stoisisme secara diam-diam.

Tokoh-tokohnya, terutama Dr. Tenma dan Atom di Pluto, tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Mereka menanggung beban dunia. Berjalan terus. Dan tetap memilih menjadi manusia di tengah kegelapan.

Itulah kekuatan Urasawa: menyajikan horor tanpa melupakan harapan. Ia tidak menggurui. Ia hanya menunjukkan, lalu menyerahkan kepada pembaca untuk merenungkan: Apakah aku masih ingin menjadi manusia?

BACA JUGA:Anime #Compass 2.0 Combat Providence Analysis System Tayang April 2025, Adaptasi Epik dari Game Strategi Populer

Urasawa menciptakan pengalaman batin. Ia membuat kita gelisah, marah, sedih, tapi juga sadar. Di zaman ketika berita palsu berseliweran, kejahatan tak lagi mengenakan topeng, dan dunia terasa makin absurd, membaca karya Urasawa seperti menemukan peta moral di tengah kekacauan.

Barangkali kita perlu membaca ulang Monster, 20th Century Boys, dan Pluto. Bukan sekadar menikmati cerita di dalamnya, tapi mengingatkan diri: bahwa di tengah hiruk-pikuk dunia, tetap ada pilihan untuk menjadi manusia.

Meski sulit, meski sunyi. Dan mungkin, itulah satu-satunya cara agar kita tidak berubah menjadi monster. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: