Cerita Diaspora dari Marisa Tania: Mode ke Kode

--
Banyak hal dari dunia fashion dan budaya yang kupelajari di San Francisco tetap melekat. Tapi saat kembali dari runway dan ruang kelas ke layar laptop, saya sadar: industri tempat saya berasal pun sedang berubah.
Jurnalisme cetak perlahan digantikan jurnalisme digital. Artikel 700 kata menyusut jadi 280 karakter di Twitter (sekarang X). Headline berganti thumbnail. Tulisan yang dulu hidup di halaman majalah kini harus bersaing dengan algoritma.
Mencari pekerjaan sebagai jurnalis di Amerika bukan hal mudah. Bahkan banyak jurnalis native speaker pun menganggur.
Saya mencari jalur lain—berspesialisasi di media sosial dan bekerja sebagai content strategist. Saya menulis caption, menyusun strategi, membaca pola interaksi. Tapi perlahan, rasa ingin tahu saya bergeser—dari menyusun narasi ke membongkar sistem yang menopangnya. Siapa yang menulis kode di balik semua ini? Bagaimana algoritma bekerja?
Kadang, dorongan datang dari arah yang tak kita duga: pandemi. COVID-19 mengubah segalanya. Banyak orang kehilangan pekerjaan—saya salah satunya. Untuk pertama kalinya, saya mendaftar subsidi pemerintah agar bisa membayar sewa.
--
Dunia seolah berhenti, tapi satu hal justru melaju lebih cepat: teknologi.
Saat pertemuan fisik tak memungkinkan, teknologi jadi satu-satunya jembatan antarmanusia.
Dari Zoom meeting hingga aplikasi layanan pesan antar—semuanya bergantung pada sistem yang berjalan di balik layar. Dan saya pun berpikir: mungkin sudah waktunya saya belajar membangun sistem itu.
Saya mulai belajar coding tanpa latar belakang teknis. Saat itu belum ada ChatGPT. Tidak ada AI yang bisa saya ajak bertanya soal error. Semua saya pelajari dengan googling, membaca dokumentasi, dan mencoba sendiri—berulang-ulang, sampai berhasil. Biasanya, orang memulai dari Introduction to Computer Science 1 (Python), lalu lanjut ke CS 2 (Java). Saya mencoba belajar keduanya sekaligus—demi memenuhi syarat masuk program bridge S2 di bidang Computer Science.
MSCS Bridge Program di University of San Francisco adalah program magister selektif untuk mahasiswa yang tidak berlatar belakang ilmu komputer. Sebagian besar teman seangkatan saya berasal dari teknik industri, teknik mesin, atau bioteknologi. Banyak yang sudah pernah coding—menggunakan Python, MATLAB, atau C. Beberapa bahkan sudah S2 atau PhD di bidang sains lain.
Tapi saya? Saya datang dari dunia yang sepenuhnya berbeda. Dunia saya sebelumnya adalah dunia mode—menulis tentang siluet dan warna, bukan struktur data. Lompatan itu terasa sangat besar. Bahkan IDE saja baru saya dengar namanya. Saya tidak tahu cara menulis fungsi, tidak paham apa itu null, dan kadang butuh dua jam hanya untuk mencari tanda kurung yang hilang.
Tapi saya tahu satu hal: saya pernah belajar menyusun struktur narasi dan membangun alur visual. Dunia kode pun punya pola dan logikanya sendiri. Yang membedakan hanyalah bahasanya—dan sekarang, itu adalah bahasa mesin.
Untungnya, saya tidak sendiri. Fakultas USF memberikan dukungan luar biasa—bahkan ada dosen yang bersedia mengadakan office hour hingga tengah malam. Di tengah tekanan akademik, saya juga membangun persahabatan dengan teman-teman seangkatan—sesama “survivor” program bridge. Kami belajar bersama, saling bantu debugging, curhat soal deadline, dan saling mengingatkan: jangan lupa makan... dan mandi. Dukungan kecil itu yang membuat saya bisa bertahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: