RUU Perampasan Aset dan Skenario Terburuk untuk Demokrasi Indonesia 2025

RUU Perampasan Aset dan Skenario Terburuk untuk Demokrasi Indonesia 2025

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dorong pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. -dok disway-

Salah satu skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah jika RUU Perampasan Aset, setelah disahkan, justru digunakan sebagai alat represi politik. Dalam lanskap politik yang terkadang diwarnai polarisasi dan persaingan yang ketat, kekuasaan untuk merampas aset dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melumpuhkan lawan-lawan politik atau kelompok-kelompok kritis.

Bayangkan sebuah situasi ketika pemerintah atau pihak yang berkuasa memiliki interpretasi yang sangat luas terhadap definisi "aset yang terkait dengan tindak pidana". Dengan kekuasaan ini, aset-aset milik tokoh oposisi, aktivis, atau bahkan media yang kritis dapat disasar dengan dalih penegakan hukum.

Proses pembuktian yang lemah atau tidak transparan mampu dimanfaatkan untuk merampas aset tanpa melalui proses peradilan yang adil dan independen. Lebih jauh lagi, ketidakjelasan batasan antara aset yang sah dan yang tidak sah dapat membuka celah bagi praktik tebang pilih.


Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Maqdir Ismail, meminta Presiden Prabowo Subianto agar teliti sebelum mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset-Disway.id/Fajar Ilman-

Aset milik pihak-pihak yang memiliki kedekatan politik atau memberikan dukungan kepada penguasa bisa saja luput dari incaran, sementara pihak lain yang dianggap sebagai ancaman justru menjadi sasaran utama. Hal tersebut tentu akan menciptakan ketidakadilan yang mendalam dan merusak kepercayaan publik terhadap hukum dan institusi negara.

Celah Hukum dan Potensi Penyalahgunaan Interpretasi

Kekhawatiran akan politisasi RUU Perampasan Aset bukan tanpa dasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Bob Hasan, perlunya pembaruan materi RUU menunjukkan adanya potensi celah hukum yang jika tidak diatasi dengan cermat, dapat disalahgunakan.

Definisi yang kabur mengenai "keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana" atau "aset yang memiliki kaitan erat dengan tindak pidana" dapat menjadi lahan subur bagi interpretasi yang subjektif dan tendensius.

BACA JUGA:Prabowo Dukung RUU Perampasan Aset, Komisi III DPR: Perlu Sekali Untuk Berantas Korupsi Sampai ke Akar

Jika RUU ini tidak secara tegas membatasi ruang lingkupnya hanya pada tindak pidana korupsi dan justru memperluasnya ke pidana umum, risiko penyalahgunaan akan semakin besar.

Potensi tumpang tindih dengan UU TPPU juga harus diatasi agar tidak terjadi ketidakpastian hukum dan memungkinkan adanya "perburuan ganda" terhadap aset yang sama dengan dalih yang berbeda.

Selain itu, mekanisme pembuktian terbalik yang mungkin diakomodasi dalam RUU ini juga perlu diatur dengan sangat hati-hati. Meskipun bertujuan untuk memudahkan penelusuran aset hasil kejahatan, mekanisme ini berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah jika tidak disertai dengan pengawasan yang ketat dan jaminan hak-hak tersangka untuk membuktikan asal-usul asetnya secara sah.

BACA JUGA:DPR RI Jamin Pembahasan RUU Perampasan Aset Berlanjut

Membangun Benteng Demokrasi di Tengah Upaya Pemberantasan Korupsi

RUU Perampasan Aset memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen yang efektif dalam memberantas kejahatan luar biasa ini. Namun, kita tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum demi efektivitas semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: