Runtuhnya Intelektualitas NKRI

Runtuhnya Intelektualitas NKRI

ILUSTRASI Runtuhnya Intelektualitas NKRI.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ketika kita membaca cerpen yang ditulis A.A. Navis, Robohnya Surau Kami, terdapat cukilan percakapan. 

”Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh. 

”Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi, engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”

Dengan memahami cerpen di atas, kita akan mengenal cabang ilmu yang mengembangkan teori arena (the theory of field), yaitu pada umumnya perubahan sosial dapat digambarkan dan dijelaskan dengan struktur sosial. 

Dampaknya, agen perubahan yang memiliki ruang kebebasan untuk bertindak berbeda dari struktur (pakem hidup yang sudah dianggap wajar). 

Pemikiran itu menghubungkan antara struktur sosial dan agen sosial (Giddens 1984; Sewell 1994; Alexander, dan Smelser 1987). Neil Fligstein dari Universitas California, Berkeley, mengatakan pentingnya intelektual atau kepandaian sosial bagi orang-orang untuk mengubah arah gerak masyarakat. 

Intelektual sosial berarti kemampuan menjangkau orang lain untuk melakukan tindakan bersama (Fligstein, 2001).

Doug McAdam dari Stanford University, Fligstein mengembangkan teori arena yang dikenal dengan strategic action fields yang disebut sebagai tatanan sosial dalam tingkat menengah. Perubahan sosial tidak langsung terjadi keseluruhan, tetapi lapisan masyarakat yang berpandangan sama. 

Aktor-aktor sosial berinteraksi dengan saling memahami. Interaksi mereka didasarkan pada kesepahaman bersama mengenai tujuan dari bidang tersebut serta tentang apa dan siapa yang dihargai di dalam kelompok. 

Mereka menyetujui aturan-aturan yang berlaku dan kerangka kerja yang membantu aktor memahami makna dan tindakan aktor lainnya (McAdam dan Fligstein, 2010).

Pemahaman Fligstein dan Doug McAdam dalam kajian tentang perubahan sosial dan struktural di atas mengemukakan konsep ”pakem hidup” yang berhubungan dengan cara individu dan kelompok berinteraksi dalam konteks sistem sosial, tidak seperti yang berjalan di masyarakat kita konsep ”ngene-ngene ae”. 

Akan tetapi, bangsa ini telah mengalami budaya ”the false sense of normalcy”: masyarakat atau individu merasa bahwa segala sesuatunya berjalan baik-baik saja meski ada masalah yang serius di bawah permukaan. 

Dalam konteks runtuhnya intelektualitas bangsa ”the false sense of normalcy”, terlihat dari aktivitas masyarakat, antara lain.

Pertama, keterasingan dari realitas. Masyarakat mungkin tidak menyadari atau mengabaikan masalah pendidikan, kebebasan berpendapat, dan akses terhadap informasi yang berkualitas.

Kedua, pengabaian terhadap kritik. Ketika kritik terhadap kebijakan atau sistem pendidikan diabaikan, masyarakat bisa merasa nyaman dalam keadaan stagnan, seolah tidak ada yang perlu diperbaiki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: