Menjadi Holistic Strategist: Manifesto untuk Revolusi Kepemimpinan Indonesia

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-disway.id/anisha aprilia-
Ini adalah bentuk pengabdian terhadap bangsa. Sebab, selama Indonesia masih dipenuhi para ”false strategist” yang pintar bicara tapi gagal mengeksekusi, kita akan terus kehilangan momentum sejarah.
Kita butuh pemimpin yang mampu: melihat kompleksitas, tapi memberikan kejelasan; memahami akar lokal, tapi berpikir global; merancang visi dan mengeksekusinya dengan disiplin; berani mengambil keputusan sulit, tanpa kehilangan arah; membangun konsensus tanpa mengorbankan prinsip.
Bayangkan, jika di setiap institusi –pemerintah, perusahaan, NGO– diisi para holistic strategist. Bayangkan, jika setiap strategi nasional dirancang dengan kejernihan, dikomunikasikan dengan narasi yang menggugah, dan dieksekusi dengan kedisiplinan tinggi.
Indonesia akan melompat jauh ke depan. Bukan karena kita punya sumber daya lebih banyak, tapi karena kita punya pemimpin yang berpikir dan bertindak lebih baik. Strategi bukan soal membuat pitch deck atau slide yang sempurna meskipun itu penting. Strategi adalah tentang memperjelas, menggerakkan, dan memperbaiki.
Semua pembelajaran ini bukan sekadar teori, melainkan juga perpaduan dari pengalaman, teknik, dan intuisi. Saya beruntung dapat belajar dari mentor-mentor terbaik. Ketika seorang strategis yang satu melatih logika dan yang lain melatih kepekaan.
Ketika keduanya dikuasai, kita tak lagi sekadar menjadi ahli strategi. Kita menjadi pemimpin –utuh, tajam, dan berdampak. Yang mampu mengubah gagasan menjadi kenyataan menuju Indonesia Emas 2045.
Saya belajar strategi tidak di ruang kelas, tapi di lapangan. Saya beruntung dapat belajar dari mentor-mentor terbaik, izinkan saya membagikan pengalaman tersebut agar kita semua mendapatkan untold tactics and stories.
Kita harus melatih kepala agar mampu membaca pola, memetakan risiko, dan mengeksekusi dengan presisi. Juga, melatih hati agar bisa menangkap isyarat, memahami manusia, dan mengambil keputusan dengan nurani.
Ketika keduanya menyatu dalam diri, kita tak lagi sekadar menjadi ahli strategi. Kita tumbuh menjadi pemimpin. Pemimpin yang tidak hanya mengubah arah, tapi juga mengubah makna. Yang tidak hanya membawa ide besar, tapi juga mampu mewujudkannya langkah demi langkah.
Saya percaya, ilmu yang tidak dibagikan akan kehilangan maknanya. Maka, izinkan saya membagikan potongan-potongan kecil dari perjalanan ini –taktik yang tak tertulis, cerita yang tak terdengar, pelajaran yang tak semua orang berkesempatan merasakannya langsung. Sebab, siapa tahu, dari satu cerita itu, lahirlah satu pemimpin baru.
Menjadi strategis sejati bukan hanya soal logika yang tajam, melainkan juga kepekaan yang halus. Tidak sekadar memahami peta, tetapi juga membaca angin dan suara hati. Saat logika dan intuisi menyatu dalam satu tubuh, di sanalah muncul pemimpin yang utuh. Bukan yang hanya pandai merancang masa depan, melainkan yang mampu menghidupkannya hari demi hari.
Pemimpin yang berpikir dengan kepala, merasa dengan hati, dan bergerak dengan keberanian. Yang tajam dalam visi, tetapi tetap lembut dalam aksi. Yang tak hanya memimpikan perubahan, tetapi menggerakkan roda sejarah.
Kita butuh lebih banyak pemimpin seperti itu –untuk menjembatani ide menjadi realitas dan menuntun bangsa ini menuju sebuah mimpi kolektif yang tak boleh hanya jadi wacana: Indonesia Emas 2045. (*)
*) H.M. Ali Affandi L.N.M. adalah tenaga ahli Kemenkoinfra, ketua Kadin Surabaya, dan sekretaris BRAINS DPP Demokrat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: