Menjadi Holistic Strategist: Manifesto untuk Revolusi Kepemimpinan Indonesia

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-disway.id/anisha aprilia-
INDONESIA sedang mengalami krisis kepemimpinan strategis: terlalu banyak ”strategi” berhenti sebagai parade slide PowerPoint penuh jargon, tanpa satu pun keputusan nyata. Saya menyebut fenomena itu false strategist –rekomendasi mahal yang berujung mati di lemari arsip, sementara masalah sebenarnya dibiarkan menumpuk.
Padahal, semua jawaban terbaik sudah tersembunyi dalam keragaman budaya dan konteks lokal kita. Inilah saatnya kita mengubur strategi dangkal dan membangun holistic strategist, pemimpin yang mampu mengubah visi menjadi aksi nyata dengan mempertimbangkan berbagai aspek menyeluruh.
Seorang holistic strategist menggabungkan kemampuan berpikir konseptual dan keterampilan eksekusi lapangan –menguasai vision & execution, analysis & synthesis, serta memimpin tim melewati setiap tahap implementasi.
BACA JUGA:Sekolah Pembangunan Jaya 2 Pacu Kreativitas Siswa dengan Holistic
BACA JUGA:Indonesia Resmi Bergabung dengan NDB, Prabowo: Langkah Strategis untuk Pembangunan Nasional
Mereka tidak hanya merancang rencana, tetapi juga memastikan setiap langkah terlaksana dengan disiplin tinggi. Sebagai seorang pembelajar strategis, ada beberapa poin yang saya kira penting untuk bisa diingat para strategis.
Indonesia membutuhkan revolusi dalam pendekatan strategis. Selama ini kultur kita mengagungkan kerumitan sebagai penanda intelektualitas, menghasilkan strategi yang penuh jargon, tetapi tidak dapat dieksekusi.
Pengalaman bersama Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono mengajarkan bahwa strategi sejati dimulai dari tiga pertanyaan sederhana: di mana posisi kita, ke mana tujuan kita, dan bagaimana cara mencapainya. Setiap strategi harus dapat dijelaskan dalam satu halaman dengan langkah konkret dan metrik terukur.
”Real strategy is simple. Not easy, but simple. It's clarity under pressure. It's focus with teeth.”
Masalah fundamental kedua adalah sindrom ”orang terpintar di ruangan” yang mengutamakan reputasi intelektual daripada dampak kolektif. Strategis hebat bukan yang menguasai ruangan, melainkan yang membuka ruangan untuk kecerdasan kolektif.
Bang Iftitah Sulaiman Suryanagara, kini menteri transmigrasi, mencontohkan kepemimpinan yang menciptakan ruang aman bagi setiap orang untuk berkontribusi sehingga tim menjadi lebih cerdas karena kehadirannya.
Kekuatan narasi menjadi elemen krusial yang sering diabaikan. Manusia tidak membeli data, mereka membeli emosi yang dibungkus logika.
Ketika harus meyakinkan presiden untuk menyetujui bujet kementerian, Bang Iftitah tidak memulai dengan angka-angka, tetapi dengan storytelling transmigran di Flores yang bisa menjual kopi
langsung ke Jakarta, tentang SMA Taruna Nusantara di Papua dapat menghasilkan patriot terbaik, dan bagaimana program inovatif transmigran bisa membesarkan bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: