Di Kuil Penyiksaan Orde Baru

Di Kuil Penyiksaan Orde Baru

ILUSTRASI Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

JUDUL itu diambil dari tulisan Nezar Patria pada 7 Juni 1998 di majalah Tempo. Tulisan tersebut menjadi salah satu testimoni paling mengerikan dalam sejarah kekerasan Orde Baru di bawah Soeharto.

Tulisan itu mengisahkan kekejaman teror yang tidak kenal belas kasihan yang dilakukan state-apparatus, ’aparatur negara yang bertindak sebagai penyebar teror’. Siapa saja yang menunjukkan gejala perlawanan terhadap kekuasaan pasti akan berhadapan dengan teror aparatur negara.

Di masa Reformasi 1998, Nezar adalah aktivis mahasiswa yang menjadi sekretaris jenderal SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Itu adalah organisasi dengan anggota sekumpulan mahasiswa pemberani yang menentang otoritarianisme Orde Baru. 

BACA JUGA:Megawati dan Orde Baru

BACA JUGA:Bahasa, Alat Kekuasaan di Era Orde Baru

Organisasi tersebut dicap sebagai gerakan kiri yang terpengaruh PKI. Pelabelan semacam itu memang khas Orde Baru untuk mendiskreditkan semua gerakan yang menentang kekuasaan Soeharto.

Nezar menjadi korban penculikan bersama 13 temannya yang lain. Ia menceritakan detailnya dalam Di Kuil Penyiksaan Orde Baru. Penyiksaan di rezim Orde Baru adalah bagian dari ritual yang rutin. Karena itu, pusat penyiksaan di rumah tahanan militer atau kepolisian diidentifikasi sebagai kuil.

Kisah penyiksaan tersebut ditulis Leila S. Chudori dalam novel Laut Bercerita (2017). Kisah mengenai teman Nezar yang diberi nama ”Laut” yang diculik dan disiksa sampai mati. 

Dikisahkan bahwa Laut ditenggelamkan di perairan Jakarta dengan dimasukkan ke drum dan dicor dengan semen.

Pelaku teror yang mengerikan itu adalah sebuah tim yang dinamakan Tim Mawar. Terdiri atas sekelompok militer pilihan di bawah pimpinan Prabowo Subianto yang ketika itu menjadi komandan Kopassus. Pengadilan terhadap kasus tersebut sudah dilakukan. Pelaku dihukum penjara dan Prabowo dipecat dari dinas militer.

Nasib korban penculikan sampai sekarang masih gelap. Keluarga korban menuntut pengungkapan yang tuntas. Namun, tuntutan itu menjadi cry in the dark, ’teriakan di kegelapan’, sehingga tak seorang pun mendengarnya.

Nezar lebih beruntung. Ia selamat, bebas, dan sekarang menikmati kekuasaan bersama Prabowo yang pernah menculiknya. Itulah yang disebut sebagai ”Stockholm Syndrome”. Yakni, sindrom psikologis yang dialami korban penculikan yang jatuh cinta kepada penculiknya.

Selain Nezar, ada sejumlah nama korban penculikan yang menjadi menteri di kabinet Prabowo. Budiman Sudjatmiko, ketua SMID, menjadi kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Mugiyanto Sapin menjadi wakil menteri HAM. 

Faisol Reza wakil menteri perindustrian dan Agus Jabo Priyono menjadi wakil menteri sosial. Mereka semua adalah korban penculikan yang penderitaannya dikisahkan oleh Nezar dalam Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: