Di Kuil Penyiksaan Orde Baru

Di Kuil Penyiksaan Orde Baru

ILUSTRASI Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Mereka semua adalah penentang militerisme Orde Baru. Namun, sekarang mereka berada di rezim yang banyak disebut sebagai rezim yang mirip dengan Orde Baru dalam hal militerisasi kekuasaan.

Nezar dan kawan-kawan punya pengalaman first hand bagaimana kekuasaan militer akhirnya menjadi otoriter dan ingin tetap bertahan dengan kekuasaannya. Rezim militer selalu antikritik karena tidak punya tradisi demokrasi. 

Para aktivis itu paham betul bahwa militer tidak boleh memegang jabatan sipil karena militer memegang senjata.

Beberapa insiden yang terjadi baru-baru ini menunjukkan gejala rezim yang tipis kuping dan antikritik. Sebuah artikel yang muncul di Detik.com yang mempertanyakan keterlibatan militer dalam jabatan sipil harus dicabut. Sebab, penulisnya mendapatan teror dan keselatamannya terancam. 

Detik.com yang ketakutan terhadap tulisan itu buru-buru mencabut dan mencatut Dewan Pers sebagai alasan. Kondisi tersebut sangat familier pada zaman Orde Baru.

Beberapa waktu yang lalu teror yang sama dialami majalah Tempo yang menerima kiriman potongan kepala babi dan beberapa bangkai tikus yang terpenggal kepalanya. Sampai sekarang tidak ada penyelesaian serius terhadap insiden itu.

Bagi Nezar dan kawan-kawan yang pernah menjadi wartawan di era Orde Baru, peristiwa itu adalah sebuah deja vu, ’sesuatu yang terjadi berulang’. Teror dan intimidasi adalah ritual rutin rezim Orde Baru. 

Para pembela militerisasi rezim Prabowo beralasan bahwa kondisi Indonesia sudah darurat korupsi. Karena itu, dibutuhkan militer untuk memulihkan Indonesia dari gerogotan korupsi. Militer adalah panasea yang bisa menyebuhkan semua penyakit. Militer adalah kunci inggris yang cocok untuk semua mur dan baut.

Itulah yang kemudian menjustifikasi penempatan sejumlah personel militer di jabatan sipil. Itu pula yang menjustifikasi penempatan pasukan militer untuk menjaga kejaksaan. Hal yang sama menjadi justifikasi bagi keterlibatan militer pada jabatan-jabatan sipil yang strategis.

Militerisasi jabatan sipil itu mirip dengan membuka kotak pandora, sekali kotak terbuka, segala jenis kejahatan akan menyebar. Sekali kejahatan itu menyebar, akan sangat sulit untuk mengendalikan dan mengembalikannya ke dalam kotak.

Soeharto menggunakan militer untuk menyelesaikan keruwetan politik dan ekonomi yang diwariskan Orde Lama. Yang terjadi kemudian, kotak pandora terbuka dan rezim militer Orde Baru tidak bisa lagi dikendalikan. Akhirnya, Soeharto harus dihentikan paksa.

Setiap rezim otoritarian selalu menciptakan musuh bersama untuk menjustifikasi kekuasaannya. Soeharto menjadikan PKI sebagai musuh bersama. Ferdinand Marcos di Filipina juga menjadikan komunisme sebagai musuh bersama. 

Augusto Pinochet di Cile juga menjadikan komunisme sebagai musuh bersama. Mereka semua berakhir menjadi diktator dan diadili rakyatnya sendiri.

Hal yang sama dilakukan Rodrigo Duterte di Filipina. Ia menjadikan penjahat narkoba dan koruptor sebagai musuh bersama. Perang melawan penjahat narkoba dan koruptor dijadikan alasan untuk menjustifikasi kebijakan yang otoritarian. Rezim Prabowo mempunyai kecenderungan yang sama. 

Abraham Maslow (1966) mengemukakan teori bias kognitif. ”If the only tool you have is a hammer, you’ll treat everything as if it were a nail”. Artinya, kalau kamu punya palu, kamu akan perlakukan semuanya seperti paku. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: