Mencermati Perbedaan Standar Kemiskinan BPS versus Bank Dunia

Mencermati Perbedaan Standar Kemiskinan BPS versus Bank Dunia

ILUSTRASI Mencermati Perbedaan Standar Kemiskinan BPS versus Bank Dunia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Sebagai perbandingan, persentase penduduk Indonesia pada tahun lalu itu menjadi yang tertinggi kedua di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara. Sebanyak 60,3 persen penduduk miskin Indonesia hanya lebih rendah daripada Laos yang mencapai 68,5 persen, tetapi jauh lebih tinggi daripada Malaysia yang hanya 1,3 persen. 

Kemudian, Thailand sebesar 7,1 persen, Vietnam di kisaran 18,2 persen, dan disusul dengan Filipina sebesar 50,6 persen. Sebagai catatan, Bank Dunia tidak memiliki data kemiskinan di Kamboja dan Myanmar.

Walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan gross national income (GNI) per kapita sebesar USD 4.870 pada tahun 2023, perlu digarisbawahi bahwa posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara USD 4.516– USD 14.005. 

Dengan demikian, bila standar kemiskinan global menurut acuan Bank Dunia diterapkan, jumlah penduduk miskin cukup tinggi. 

IMPLIKASI DAN TANTANGAN

Garis kemiskinan Indonesia dihitung berdasar hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan dua kali dalam setahun. 

Pada 2024 Susenas dilaksanakan pada Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu. 

Sebab, pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari umumnya terjadi secara kolektif. Oleh karena itu, garis kemiskinan yang dihitung BPS diklaim dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. 

Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara terperinci berdasar wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan.

Andai perbedaan metode penghitungan antara Bank Dunia dan BPS itu diterjemahkan secara harafiah, jelas akan membawa konsekuensi dan tantangan bagi pemerintah untuk menyesuaikan sejumlah kebijakan dalam mengurangi angka kemiskinan maupun strategi pertumbuhan ekonomi. 

Pertama, perbedaan itu mengakibatkan bias dalam memahami kondisi kemiskinan riil di Indonesia. Meski garis kemiskinan Bank Dunia lebih tinggi, hal itu akan mendorong BPS agar lebih realistis dalam menggunakan pendekatan kebutuhan dasar sebagai acuan kebijakan domestik. 

Kedua, peningkatan garis kemiskinan global menuntut pemerintah untuk merekonstruksi beberapa kebijakan yang terkait agar dapat mengurangi kesenjangan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. 

Ketiga, besarnya perbedaan angka kemiskinan akan memengaruhi dasar perhitungan rasio gini, yaitu indikator ekonomi yang mengukur ketimpangan pendapatan antarmasyarakat di sebuah negara. 

Rasio gini antara satu negara dengan negara lainnya mungkin bisa saja sama terlepas dari pendapatan per kapita negara tersebut. Sebagai contoh, rasio gini negara Belanda dan Denmark pada tahun 2016 sama-sama mencapai 28,2 persen (Bank Dunia) meskipun pendapatan per kapita kedua negara tersebut selisih USD 10.000.  

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: