Pancasila di Reruntuhan Demokrasi

Pancasila di Reruntuhan Demokrasi

ILUSTRASI Pancasila di Reruntuhan Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ketika masyarakat marah atau kecewa, negara justru membalas dengan represi. Aparat dijadikan alat stabilitas, bukan perlindungan warga. Kritik disebut ujaran kebencian. 

Organisasi sipil yang menyuarakan keadilan disusupi dan dilumpuhkan. Di sisi lain, kelompok ekstrem yang menyebarkan intoleransi justru dibiarkan tumbuh jika sejalan dengan kekuasaan. 

Itulah wujud nyata dari erosi demokrasi: ketika hukum tak lagi netral dan negara kehilangan keberpihakan moralnya.

Yang paling mengkhawatirkan bukan sekadar pelemahan institusi demokrasi, melainkan juga hilangnya kesadaran kolektif bahwa kita sedang berada di tepi jurang. 

Banyak warga yang menganggap normal ketika kepala daerah dipilih karena popularitas, bukan integritas. Banyak yang apatis ketika hak-hak dasar masyarakat dilanggar karena telah terbiasa dengan ketidakadilan. 

Di sanalah kita melihat bahwa Pancasila tidak hanya dilupakan, tetapi juga mulai ditinggalkan sebagai pedoman hidup bersama.

Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Menggali Pancasila dari reruntuhan demokrasi bukan sekadar tugas intelektual, melainkan juga tanggung jawab moral seluruh warga bangsa. 

Ia harus dimulai dari pendidikan yang membebaskan, dari gerakan sosial yang menghidupkan musyawarah, dari ruang publik yang memberikan tempat bagi semua suara. 

Pancasila bukan milik negara, melainkan milik rakyat. Karena itu, rakyatlah yang harus merebut kembali maknanya.

Kita harus berani menempatkan Pancasila bukan hanya sebagai simbol mati, melainkan juga sebagai alat perjuangan hidup. 

Ia harus menjadi dasar kita dalam menolak ketidakadilan, dalam mengkritik kekuasaan yang menyimpang, dan dalam merancang ulang sistem yang berpihak kepada manusia dan lingkungan. 

Sebab, Pancasila sejatinya tidak hanya tentang menjaga persatuan, tetapi juga menegakkan keadilan. Tidak hanya tentang kedamaian semu, tetapi juga keberanian untuk menolak penindasan.

Menggali Pancasila di reruntuhan demokrasi adalah pekerjaan panjang dan tak mudah. Namun, justru di situlah letak keistimewaannya. 

Ia bukan proyek romantis atau nostalgia belaka, melainkan upaya membangkitkan kembali etos kebangsaan yang jujur, terbuka, dan berpihak kepada rakyat. 

Ketika demokrasi gagal memberikan harapan, Pancasila harus kembali dibaca sebagai panggilan untuk bangkit. Tidak untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk menatap masa depan yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: