4 Kategori Besar Upacara Masyarakat Tengger, Tidak Hanya Yadnya Kasada

Potret masyarakat Tengger yang mengikuti upacara Yadnya Kasada. Masyarakat Tengger memiliki berbagai upacara yang terbagi dalam 4 kategori.-Patrick Cahyo Lumintu-
"Yakni setiap Jumat umanis atau Jumat legi. Dalam perhitungan Tengger, upacara itu digelar tiap 35 hari sekali," terangnya.
Ketiga, upacara tahunan. Seperti Yadnya Kasada dan Santi Sasi Karo (upacara bulan kedua dalam perhitungan Tengger).
Kemudian Pujan Kapat atau doa bersama pada bulan keempat, Pujan Kawolu pada bulan kedelapan, dan Pujan Kasanga pada bulan kesembilan.
BACA JUGA:Tradisi Lima Tahunan Upacara Unan-Unan, Upaya Melibatkan Pemuda dalam Melestarikan Budaya Tengger
Keempat, upacara Unan-unan. Upacara itu digelar setiap 5 tahun sekali. Sebagai wujud rasa syukur dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ada yang menarik. Masyarakat Tengger selalu melakukan upacara pada bulan kedua, keempat, kedelapan, dan kesembilan.
Santi Sasi Karo pada bulan kedua, misalnya. Romo Puja menerangkan, "Santi Sasi Karo disebut juga sebagai upacara cikal bakal. Digelar tiap bulan kedua, karena cikal bakal kita berasal dari dua orang: ayah dan ibu. Itu wujud rasa syukur kita terhadap orang tua."
BACA JUGA:Melestarikan Budaya Tengger melalui Promosi Digital dan Pemberdayaan Ethnowellness
Pujan Kapat, masyarakat Tengger berdoa dan mengucap syukur pada pangarsa desa, atau leluhur yang menjaga desa di empat penjuru mata angin. "Istilah dalam bahasa Jawa, mancapating desa," ungkap pria 37 tahun itu.
Pujan Kawolu, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap para dewa yang melindungi delapan penjuru mata angin.
Sedangkan upacara Pujan Kesanga adalah tradisi bersih desa. "Upacara tolak bala, tapi skalanya lebih luas. Menggunakan sesaji-sesaji tertentu dan lebih fokus untuk berdoa. Demi ketenangan jiwa pribadi dan keselamatan bumi ini," terang ayah dua anak itu.
BACA JUGA:Ceria dan Guyub, Begini Potret Yadnya Karo, Hari Besar Suku Tengger
Itulah beragam upacara yang dilakukan masyarakat Tengger. Mereka bersahaja di tengah suhu lereng Bromo yang dingin. Dalam sunyi, hening, ada ketulusan dan gotong royong. Bersama dalam bingkai spiritualitas turun-temurun. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: