Label Nonhalal

ILUSTRASI Label Nonhalal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Banyak resto yang tidak mencantumkan label halal sekaligus keterangan nonhalal, seperti rumah makan Ayam Widuran Solo yang beberapa waktu lalu heboh itu. Jelas, konsumen muslim dirugikan karena tak tahu mana yang halal.
Kasus seperti Ayam Goreng Widuran itu banyak sekali. Ada di sekitar kita. Suatu saat saya masuk ke restoran mi di Surabaya bersama istri yang berjilbab. Jelas muslim. Dipersilakan dengan baik dan ditanya pilih menu apa. Tidak ada menu babinya.
Sambil menunggu, iseng saya tanya ke pelayan, apakah makanannya halal. Lalu, dijawab bahwa restoran menggunakan minyak babi. Saya pindah ke beberapa restoran mi, dan ternyata sama, menggunakan minyak babi. Tanpa ada keterangan tidak halal.
Mungkin, bagi nonmuslim, asal bukan daging babi, boleh dikonsumsi muslim. Atau, mereka berpikir bahwa banyak muslim yang tidak mempermasalahkannya sehingga mereka berpikir tidak perlu menjelaskan penggunaan bahan haram itu kepada konsumen.
Melihat kenyataan itu, pemerintah perlu segera menegakkan aturan pencantuman keterangan tidak halal melalui kegiatan sosialisasi, edukasi, dan pengawasan yang efektif. Berbeda dengan program sertifikasi halal, penerapan kewajiban pencantuman keterangan tidak halal sangat mudah. Bahkan, tidak memerlukan sumber daya yang banyak baik bagi pemerintah maupun bagi pelaku usaha.
Selain itu, pemerintah perlu membuat sanksi yang berat bagi pelanggar kewajiban pencantuman keterangan tidak halal agar penegakan hukum bisa efektif. Menurut PP Nomor 39 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (PP PJPH), BPJPH hanya dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
Jika pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis, tidak ada sanksi lebih berat yang bisa dijatuhkan BPJPH kepada pelaku usaha yang tidak patuh. Padahal, BPJPH dapat menjatuhkan sanksi administratif yang lebih berat –mulai denda sampai perintah penarikan barang dari peredaran– untuk pelanggaran kewajiban yang lain.
Sebelum diamandemen melalui Undang-Undang Cipta Kerja, UU JPH mengatur bahwa pelanggaran ketentuan kewajiban pencantuman keterangan tidak halal juga dapat dijatuhkan denda. Namun, sanksi denda tersebut dihapus setelah diamandemen dan ketentuan sanksi administratif diatur lewat PP.
Perlu ada revisi PP PJPH dengan memasukkan sanksi yang berat bagi pelanggar pencantuman keterangan tidak halal untuk produk makanan dan minuman tidak halal.
Itu semua agar hak-hak muslim untuk mengonsumsi produk halal bisa terjamin. Apalagi, ini juga sesuai dengan amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsuman. Bahwa konsumen berhak mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.
Pelaku usaha wajib memenuhi hak konsumen muslim untuk mendapat informasi yang jelas tentang ketidakhalalalan produk makanan dan minuman. (*)
*) Imron Mawardi adalah guru besar pada Departemen Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: