Label Nonhalal

Label Nonhalal

ILUSTRASI Label Nonhalal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Hulu Jaminan Produk Halal

Akibatnya adalah konsumen muslim di Indonesia yang sangat besar jumlahnya tidak terlindungi. Jika itu dipatuhi, seharusnya heboh pada Ayam Goreng Widuran Solo tidak akan terjadi. 

Selama ini persoalan produk tidak halal tidak menjadi perhatian, baik oleh pemerintah, BPJPH, maupun masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Semua fokus pada sertifikasi halal dan pencantuman label halal. 

Sosialisasi yang gencar adalah tentang sertifikasi halal. Padahal, pencantuman keterangan tidak halal sama pentingnya dengan label halal. Apalagi, di Indonesia yang masyarakatnya kurang aware dengan kehalalan itu. 

BACA JUGA: Berebut Pasar Halal

BACA JUGA:Logo Halal

Jangankan nonmuslim, yang muslim saja literasi kehalalan sangat rendah. Banyak muslim menganggap bahwa karena berada di lingkungan masyarakat muslim, produk-produk yang diproduksi otomatis halal. 

Selain itu, sebagian menganggap bahwa keharaman makanan itu hanya terkait babi. Kehalalan itu hanya persoalan mengandung babi atau tidak. Jika mengandung babi, haram. 

Karena itu, banyak muslim yang menganggap ayam goreng pasti halal. Padahal, kehalalan tidak sesederhana itu. Daging sapi, kambing, ayam, bebek, atau bahkan ikan pun belum tentu halal. Sebab, banyak faktor yang menjadikan barang yang hukum asalnya halal menjadi haram. 

Bisa saja ayam menjadi haram karena penyembelihannya tidak sesuai syariah, memasaknya menggunakan bahan penolong tidak halal, atau pengemasannya menggunakan bahan yang tidak halal. 

Halal itu memang ada dua jenis. Halal li-dzatihi (zat atau barangnya halal) dan lighairi dzatihi (bukan zatnya, melainkan prosesnya). Yang rumit adalah yang kedua itu. 

Sebab, proses pembuatan dan unsur atau zat yang digunakan dalam proses produksi makanan dan minuman cukup kompleks. Banyak unsur di antaranya yang tidak halal. 

Sederhananya begini: apakah ayam goreng halal? Jawabnya: ”belum tentu. Apakah menyembelihnya sesuai syariah?”. Jika sesuai, apakah halal? ”Belum tentu. Apakah bumbunya halal?” 

Jika bumbunya halal, apakah halal? ”Belum tentu. Apakah minyaknya halal?”, dan seterusnya. Itulah penentuan halal lighairi dzatihi.

Jika banyak konsumen yang tidak aware dengan kehalalan, apalagi produsen. Di industri restoran, misalnya, banyak resto yang abai terhadap kehalalan itu. Bahkan, mereka enggan menolak atau menginformasikan kepada pembeli yang muslim. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: