Media Massa Kita (Belum) Roboh: Menuju Koeksistensi dan Rekonstruksi Sistem Komunikasi

Media Massa Kita (Belum) Roboh: Menuju Koeksistensi dan Rekonstruksi Sistem Komunikasi

ILUSTRASI Media Massa Kita (Belum) Roboh: Menuju Koeksistensi dan Rekonstruksi Sistem Komunikasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dengan kata lain, tidak terjadi penggantian satu arah, tetapi koeksistensi dan konvergensi fungsi.

Lebih jauh, konsep doubling of reality juga dapat ditafsirkan secara lebih dinamis. Realitas media yang terfragmentasi bukan semata kehancuran dari sistem komunikasi sebelumnya, melainkan juga pembentukan logika baru yang lebih partisipatif. 

Munculnya jurnalisme warga, aktivisme digital, dan kanal berita berbasis komunitas adalah bukti bahwa sistem media tidak benar-benar runtuh, tetapi mengalami transformasi atau mungkin mutasi sosial dan fungsional. 

Kritik bahwa media sosial hanya berfungsi dalam ranah permukaan –melalui likes dan swipe –mengabaikan kenyataan bahwa banyak narasi penting, seperti pelaporan konflik agraria, ketimpangan sosial, dan kekerasan negara, justru hadir melalui ruang digital yang tak dijamah media arus utama. 

Walau memang, harus diakui, hal itu menimbulkan fenomena ”viral culture” yang tidak sepenuhnya sehat dalam ekosistem informasi dan regulasi di Indonesia.

Dengan demikian, dalam pandangan saya, argumen yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia kehilangan ”ruang tengah” karena dominasi logika algoritmik pun layak dikaji ulang. 

Apa yang dimaksud sebagai ruang tengah perlu diperjelas –apakah itu ruang deliberasi publik, ruang opini yang berimbang, atau zona komunikasi nonpolitis? 

Di tengah krisis kepercayaan terhadap media besar, hadirnya media alternatif seperti Project Multatuli, Watchdoc, dan Narasi justru menunjukkan adanya inisiatif membangun ruang kritis yang partisipatif dan independen. 

Atau, adaptasi media-media arus utama seperti Tempo dan Kompas dengan laporan investigasi yang dikemas dalam sajian bentuk transformasi algoritmik menjadi sebuah strategi yang layak dikaji. 

Mereka tak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melibatkan publik dalam penyusunan agenda dan narasi.

Dalam konteks global, peran UNESCO sangat signifikan sebagai aktor utama yang mendorong kebebasan berekspresi, pluralisme media, dan akses terhadap informasi yang tepercaya. 

Melalui berbagai inisiatif seperti World Trends in Freedom of Expression and Media Development, International Programme for the Development of Communication (IPDC), dan Global Media and Information Literacy (MIL) Alliance, UNESCO berkomitmen membangun ekosistem media yang etis, inklusif, dan profesional. 

Di tengah disrupsi digital, krisis model bisnis media dan tekanan algoritmik yang mengancam integritas informasi, UNESCO secara aktif mendorong negara-negara anggotanya untuk mengembangkan kebijakan media yang adaptif terhadap era digital. 

Inisiatif seperti internet for trust dan recommendation on the ethics of artificial intelligence menegaskan pentingnya tata kelola informasi yang adil, transparan, dan berbasis hak asasi manusia. 

Dalam lanskap informasi yang makin kompleks, UNESCO juga menempatkan literasi media dan informasi (MIL) sebagai kompetensi kunci abad ke-21 guna memastikan masyarakat mampu berpikir kritis, berpartisipasi aktif, dan menjaga ruang publik yang sehat melalui jurnalisme publik, media komunitas, dan interaksi digital yang bertanggung jawab. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: