Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (9): Enaknya Kuliah PhD di Hanken

Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (9): Enaknya Kuliah PhD di Hanken

Mengajar mata kuliah Supply Chains Strategy for Sustainability dengan topik Sustainable Procurement. Peserta adalah mahasiswa S2 di Hanken School of Economics.--Mushonnifun Faiz S

Secara umum, pendidikan S3 di Finlandia berdurasi empat tahun. Beruntung saya punya dua supervisor yang helpful, yakni degree supervisor: Diego Vega, dan thesis supervisor: Anna Aminoff. 

Dari pertemuan dan diskusi pertama kalinya dengan dua supervisor itu, saya jadi tahu bahwa menuju PhD di Finlandia itu sangatlah berbeda dengan di Indonesia. Saya pun memahami ekspektasi dan sistem S3 di Finlandia. Misalnya, S3 di sini tidak ada kewajiban publikasi. Yang ada adalah membangun kualitas. 

Pun motivasi yang banyak saya dapatkan dari mereka berdua. Seperti yang disampaikan Diego. ”S3 itu susah. Saya sudah menjalaninya. Terlebih dulu saya juga menjadi ayah dan suami. Jadi kamu harus bisa ya Faiz,” kata degree supervisor saya itu saat kali pertama kami berjumpa. Saya mengangguk-angguk terharu.


Foto bareng mahasiswa doktoral dari lintas disiplin dan universitas saat mengikuti Kataja Course Theories and Research in Business Sustainability and Responsibility di Turku University.--Mushonnifun Faiz S

BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (6): It is Our Dream

Pesan yang sama disampaikan thesis supervisor saya saat bertemu membahas tentang rencana riset. ”Saya memulai studi S3 saya dulu ketika kedua anak saya masih berusia 3 tahun dan 5 tahun, menjalani peran juga sebagai ibu dan istri. Memang susah, mungkin waktu bersama mereka akan berkurang, tapi kamu harus bisa menyeimbangkan itu semua,” kata Anna. 

Mendengar itu saya sempat berkaca-kaca sekaligus bersyukur. Sebab hal itulah dahulu yang benar-benar kuharapkan, memilki supervisor yang family-oriented.

Saya masih ingat saat interview online bersama mereka, saya sempat ditanya mengapa memilih Finlandia? Saya bilang bahwa saya ingin negara yang sangat respek dengan work-life family balance

Saya ingin saat sedang libur bersama keluarga, tidak diganggu oleh email dari supervisor. Itu semua saya sampaikan di awal, sehingga jika karena alasan ini saya gagal pun, saya tidak masalah. 

Namun, nyatanya, saya tetap diterima S3 di sini, dan mereka pun respect terhadap kehidupan keluarga. Ah, mungkin karena itulah negara ini menjadi negara paling bahagia delapan tahun berturut-turut versi World Happiness Index

BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (7): Melintasi Singapura dan Turki

Selama empat tahun menempuh pendidikan di Hanken, saya harus menyelesaikan sebanyak 240 ECTS (kredit perkuliahan). Terdiri dari 180 ECTS dalam bentuk penelitian/disertasi, dan 60 ECTS sisanya berupa kuliah mengambil course (kelas). 

Beberapa universitas tapi memiliki requirements yang beda untuk kuliah, misalnya, di University of Helsinki dan di Aalto University, mandatory credits-nya 40 ECTS, tapi per tahun kemarin dikurangi menjadi 30 ECTS untuk coursework nya. 

Untuk publikasi, rata-rata universitas meminta 2-3 artikel. Untuk case saya, di Hanken, tiga artikel tersebut dengan status ”essayready to submit, sehingga bahkan persyaratan sudah ter-publish pun tidak ada. 

Karena di sini menekankan kepada kualitas, bukan kuantitas. Sehingga jangan dikira walaupun sepertinya ”terlihat gampang”, tapi level ekspektasi dari supervisor dan universitas cukup tinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: