Perang Iran-Israel, Tanda Bahaya dari Timur Tengah

Perang Iran-Israel, Tanda Bahaya dari Timur Tengah

ILUSTRASI Perang Iran-Israel, Tanda Bahaya dari Timur Tengah.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Indonesia hari ini punya posisi strategis. Sebagai negara mayoritas muslim terbesar, anggota G-20, dan punya rekam jejak diplomasi bebas-aktif, Indonesia semestinya bisa lebih dari sekadar ikut tanda tangan. 

Kita bisa memelopori inisiatif kemanusiaan, mengajak negara global south bersatu menekan penghentian kekerasan. Kita juga bisa mendorong ASEAN untuk bersikap lebih konkret terhadap konflik yang mengancam stabilitas energi dan keamanan internasional itu.

BACA JUGA:Iran vs Israel: The Clash of Wills (Pertarungan Kehendak)

BACA JUGA:Israel Larang UNRWA, Langgar Hukum Internasional

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Kementerian Luar Negeri seolah menunggu. Kita tak kunjung menggelar konferensi darurat. Kita tak mengusulkan jalur diplomasi damai yang aktif. 

Padahal, sejarah telah memberikan contoh: pada masa Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok, Indonesia pernah menjadi pelopor suara moral dunia. Lantas, mengapa hari ini hanya menjadi penonton?

Di tengah gempuran ego negara-negara besar, Indonesia semestinya tampil bukan sebagai penengah normatif, melainkan sebagai inisiator realis – mengajak negosiasi berdasar kepentingan kolektif global south: stabilitas, energi, dan keselamatan warga sipil. 

BACA JUGA:Keberimbangan Berita di Tengah Bengisnya Tentara Zionis Israel

BACA JUGA:Di Balik Jual Beli Serangan Israel-Iran

Tunjukkan bahwa pemerintahan di era Presiden Prabowo Subianto menunjukkan iktikad dan inisiatif strategis yang lebih lanjut memberikan dukungan yang positif terhadap situasi dunia yang sedang genting dan tidak baik-baik saja.

DUNIA DI UJUNG TITIK DIDIH

Perlu sama-sama kita sadari bahwa dapat saja fenomena kali ini bukan merupakan akhir, melainkan awal dari rangkaian konflik yang lebih besar. 

Jika rudal berikutnya jatuh ke Irak, jika pangkalan AS diserang, jika pasokan minyak dari Selat Hormuz terganggu, yang terjadi bukan hanya perang regional. Namun, krisis global dengan perluasan eskalasi konflik yang besar.

Dan, saat para pemimpin dunia masih berdebat soal siapa yang salah, warga sipil terus menjadi korban. Anak-anak kehilangan sekolah, keluarga kehilangan tempat tinggal, dan dunia kehilangan nuraninya. 

Inilah saatnya Indonesia, bersama kekuatan diplomatiknya yang tersisa, bersuara lebih lantang. Tidak untuk mengutuk, tetapi untuk mengintervensi secara bermartabat. Untuk menyelamatkan, bukan menonton. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: