Hiruk-Pikuk Pelanggaran Hak Cipta Lagu

Sengkarut hak cipta lagu mengungkap sisi gelap industri musik Indonesia yang menuntut regulasi lebih adil dan transparan.--Pexels
Pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual menjadi kebutuhan utama agar para pelaku seni dapat terus berkarya dengan rasa aman dan memastikan bahwa karya-karya mereka tidak dieksploitasi tanpa izin. Perlindungan hak kekayaan intelektual bukan hanya berbicara soal keadilan tetapi juga tentang menjaga keberlanjutan ekosistem musik di tanah air.
Nama-nama musisi seperti Ahmad Dhani, Armand Maulana, hingga Ikke Nurjanah tercatat sebagai musisi yang vokal memperjuangkan keadilan hak kekayaan intelektual dan keadilan royalti.
Melalui berbagai aksi hingga gerakan kolektif seperti Vibrasi Suara Indonesia (VISI), mereka menuntut tata kelola royalti yang transparan dan sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang adil bagi seluruh insan musik.
BACA JUGA: Ini Tanggapan DJKI soal Dugaan Pelanggaran Hak Cipta Lagu ‘Apa Sih’ Milik Radja
Namun, tidak semua musisi sepakat. Ada juga yang kontra. Beberapa contohnya adalah sikap Rian D'masiv serta Ian Kasela Radja muncul sebagai suara yang berbeda dan penuh pertimbangan. B
erbeda dengan beberapa musisi yang lebih vokal memperjuangkan hak atas kekayaan intelektual dan royalti secara ketat, kedua musisi menilai bahwa pemisahan hak dan keuntungan antara pencipta lagu dan musisi mampu berpotensi menimbulkan konflik yang merugikan ekosistem musik.
Baginya, aturan yang terlalu kaku seperti larangan membawakan lagu tanpa izin langsung dari pencipta mampu menghambat perkembangan industri musik serta mengurangi keberagaman ekspresi musikal yang selama ini menjadi kekayaan karya musik di negara Indonesia. Musik adalah ruang kreativitas yang seharusnya tetap terbuka selama mekanisme royalti dan hak cipta tetap dihormati.
BACA JUGA: Kawal Revisi UU Hak Cipta di DPR, Melly Goeslaw Tegaskan Dukungan untuk Pekerja Seni
Pendekatan kolaboratif menjadi solusi konstruktif dibandingkan penegakan hak atas kekayaan intelektual yang kaku dan berpotensi memecah belah para musisi dan seluruh insan musik. Perlu bersatu memperbaiki sistem royalti yang ada agar lebih transparan dan adil.
Oposisi Biner LMKN vs AKSI
Perbedaan tafsir soal izin dan distribusi royalti menimbulkan ketegangan antara LMKN dan AKSI sebagai representasi dua kepentingan besar.--Getty Images Signature
Perdebatan sengit antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) mencerminkan persoalan mendalam pengelolaan hak atas kekayaan intelektual dan royalti. Oposisi biner bukan sekadar perbedaan secara teknis melainkan arena perebutan kuasa yang menguji keadilan dan keberlanjutan ekosistem musik.
LMKN merupakan lembaga resmi yang diberi kewenangan negara dalam mengelola hak ekonomi atas ciptaan musik dengan sistem kolektif. Ini sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
BACA JUGA: DJKI: Kafe, Pub, hingga Konser Cukup Sekali Bayar Royalti Lagu Lewat LMKN
Melalui LMKN, royalti dari penggunaan lagu di ranah publik dikumpulkan dan didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hak tanpa perlu izin langsung dari pencipta setiap kali lagu dibawakan.
LMKN menekankan profesionalisme dan transparansi, serta berupaya memaksimalkan distribusi royalti melalui digitalisasi demi menciptakan sistem yang efisien dan terjangkau bagi musisi dan penyelenggara acara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: