Hiruk-Pikuk Pelanggaran Hak Cipta Lagu

Hiruk-Pikuk Pelanggaran Hak Cipta Lagu

Sengkarut hak cipta lagu mengungkap sisi gelap industri musik Indonesia yang menuntut regulasi lebih adil dan transparan.--Pexels

Keberadaan LMKN pun kemudian menjadi sorotan di tengah hiruk pikuk royalti. Sejumlah musisi yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) mengajukan uji materi pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA: Menteri Hukum Terima Audiensi Agnez Mo dan Musisi Terkait Sistem Royalti

Para pemohon menyatakan bahwa norma yang diujikan tersebut telah gagal memberikan kepastian hukum terkait distribusi dan pengelolaan royalti pencipta lagu. Ketidakjelasan regulasi ini, memungkinkan interpretasi liar yang melahirkan lembaga seperti LMKN.

Akibatnya terjadi pembelokan aturan dengan terbitnya PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik, yang merugikan pencipta lagu dan pemilik hak terkait, serta menimbulkan ketidakadilan dalam praktik pengelolaan royalti sebagaimana dijamin konstitusi pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait prinsip kepastian hukum dan keadilan.

Di sisi lain, AKSI hadir sebagai suara yang vokal mewakili para pencipta lagu yang menuntut agar musisi dan penyelenggara wajib meminta izin langsung sebelum membawakan karya mereka.

BACA JUGA: Agnez Mo Dihukum Bayar Denda Rp 1,5 Miliar atas Pelanggaran Royalti Lagu

AKSI menegaskan bahwa izin membawakan lagu serta pembayaran royalti sebesar 10 persen dari honor musisi sebagai bentuk penghargaan yang lebih adil bagi pencipta lagu. Bagi AKSI, sistem pengelolaan royalti melalui LMKN belum sepenuhnya memenuhi hak-hak pencipta dan perlu diperbaiki agar lebih transparan.

Perbedaan paradigma ini menimbulkan ketegangan yang tak terhindarkan. AKSI menuntut penegakan kewajiban izin dan royalti yang lebih ketat sebagai upaya melindungi pencipta lagu yang selama ini merasa terpinggirkan.

Sementara LMKN, didukung oleh organisasi VISI yang berargumen bahwa kewajiban membayar royalti sudah diatur secara kolektif, sehingga musisi dan penyelenggara cukup membayar royalti tanpa harus meminta izin langsung.

BACA JUGA: Wow! Taylor Swift Terima Royalti Fantastis dari Spotify, Ini Besarannya

LMKN juga menegaskan bahwa penyelenggara acara, bukan musisi, adalah pihak yang bertanggung jawab membayar royalti. Sistem direct licensing yang didukung AKSI masih belum diatur secara jelas dalam undang-undang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Persoalan ini merefleksikan kompleksitas pengelolaan hak atas kekayaan intelektual dan royalti di era digital yang menuntut dialog konstruktif dan revisi regulasi antar semua pemangku kepentingan.

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang seimbang dan inklusif untuk menciptakan sistem pengelolaan royalti yang adil, transpaan, dan berkelanjutan demi masa depan musik Indonesia yang lebih cerah. (*)


Sendy Krisna Puspitasari 

*) Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: