Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal

ADA reuni dadakan. Penulis berdiskusi dengan Dahlan Iskan. Dari kiri, Yuyon Ali Fahmi, Kokok Dirgantoro, Leo Herlambang, penulis, dan Arif Firmansyah di Tangerang, Minggu, 22 Juni 2025.-TOFAN MAHDI UNTUK HARIAN DISWAY-
BACA JUGA:Pesan Dahlan Iskan untuk ICCWA di Perth: Jangan Balik ke Indonesia!
Aktif menulis di Jawa Pos membuat saya juga ”akrab” dengan nama-nama besar dan tokoh-tokoh di balik meja redaksi Jawa Pos. Termasuk tentu saja sudah mendengar nama besar ”big boss” Jawa Pos, Dahlan Iskan.
Kegiatan rutin menulis artikel di Jawa Pos menjadi berkah buat saya. Sebab, begitu lulus kuliah tahun 1997, saya langsung diterima bekerja sebagai wartawan Jawa Pos.
”Bagaimana bisa sukses menjadi wartawan seperti Pak Dahlan?” tanya saya kepada Dahlan Iskan dalam sebuah sesi training untuk wartawan baru, April 1997.
”Jangan meniru saya, saya bukan sosok yang bisa ditiru. Banyak wartawan lain yang lebih hebat. Kalau di Jawa Pos, ada Nany Widjaja dan Djoko Susilo,” jawab Dahlan Iskan. Dua nama yang disebut tadi juga sangat familier di telinga saya, tetapi saat itu belum sempat bertemu.
Bagi saya, menjadi wartawan Jawa Pos adalah kebanggaan yang luar biasa saat itu. Dari lebih tiga ribu pelamar, yang diterima sebelas orang.
Mungkin sama dengan Dahlan Iskan yang ingin seumur hidup di Jawa Pos, saya pun kala itu juga tidak punya cita-cita lain kecuali menjadi wartawan Jawa Pos sampai pensiun. Meski pada akhirnya takdir berkata lain.
Bulan-bulan pertama di Jawa Pos, dari para senior, saya mendengar banyak hal tentang Jawa Pos dan Dahlan Iskan. Sebagai seorang wartawan, saya harus bekerja keras, pantang menolak penugasan, siap ditugaskan ke mana saja di seluruh dunia, siap liputan apa saja, dan tidak boleh menanyakan hal-hal yang sensitif kepada atasan.
Misalnya, tentang gaji, bonus, ataupun kapan promosi jabatan. Pokoknya kerja, kerja, kerja. Dan, yang sering diingatkan Dahlan Iskan, wartawan Jawa Pos dilarang menerima amplop. Terima amplop, langsung pecat.
”Awakmu lek ditimbali Bos’e langsung mlayu, ojo klamar-klemer. (Kalau dipanggil Pak Dahlan, langsung lari. Jangan jalan santai, Red).” Senior saya, Yulfarida Arini, wartawan desk metropolis dan kesehatan Jawa Pos, berbagi kiat ketika dipanggil atau berkomunikasi dengan Pak Dahlan Iskan. Saya manggut-manggut mengiyakan.
Alhamdulillah, karier saya cukup ”sukses” di Jawa Pos. Hanya tiga tahun menjadi reporter, tahun 2000 sudah menjadi redaktur. Selain di desk ekonomi bisnis, juga pernah menjaga gawang desk internasional dan halaman satu (halaman paling prestisius).
Tahun 2004/2005, saya naik jabatan sebagai redaktur pelaksana (managing editor) dan tahun 2007 dalam usia 33 tahun dipercaya menjadi wakil pemimpin redaksi. Benarlah manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Karena ada sedikit dinamika dalam karier di kantor, tahun 2009 saya memutuskan resign dan hijrah ke Jakarta.
”Anda mau pindah kerja ke mana? Kalau ke media lain tidak boleh,” kata Pak Dahlan saat saya pamit pada suatu malam di meja bundar lantai 4 gedung Graha Pena Surabaya.
”Tidak ke media, Bos. Ke perusahaan sawit,” kata saya.
”Oh ya, boleh. Sukses ya buat Anda. Tetap kontak-kontak, ya,” kata Pak Dahlan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: