Ketika Kecerdasan Buatan Menjadi Jalan Pintas Belajar: NTU Beri Nilai Nol untuk Pencontek AI

KUDA TROYA yang menjadi simbol kritik mahasiswa Universitas Tel Aviv pada kehadiran mesin-mesin pintar. Patung berbahan papan sirkuit dan perangkat keras komputer itu melambangkan kuda troya. Seperti hadiah kemenangan namun bisa menghancurkan jika manusia-JACK GUEZ-AFP-
Pada 18 Juli 2025, NTU menegaskan bahwa keputusan yang diambil sudah final. Mereka pun mengingatkan agar semua pihak harus menghormati integritas proses banding dan menahan diri dari serangan pribadi terhadap siapa pun yang terlibat.
BACA JUGA:Paus Fransiskus Buka Suara di KTT G7: Gali Risiko dan Keuntungan Kecerdasan Buatan (AI)
Mengapa NTU mempermasalahkan kutipan palsu sedemikian rupa? Sebab, akurasi pengutipan adalah fondasi setiap karya ilmiah. Tanpa itu, argumen dan hasil penelitian kehilangan kredibilitas.
Kalau bicara soal kredibilitas, para profesional di bidang AI sebenarnya sudah melek mengenai hal tersebut.
CNN, 10 Juli 2025, mengutip pernyataan Greg Leppert, Direktur Eksekutif Inisiatif Data sekaligus Kepala Teknologi di Berkman Klein Center for Internet & Society Universitas Harvard. “Banyak data yang digunakan dalam pelatihan kecerdasan buatan (AI) tidak berasal dari sumber asli.”
Jalan keluar yang ditawarkan adalah menambah sumber pengetahuan tersebut. Yaitu buku-buku fisik dari perpustakaan.
Solusi itu memang oke. Namun dengan cara kerja AI, apakah hal ini benar-benar bisa menjadi solusi jangka panjang?
PENGGUNA AI bekerja pada laptopnya di kantor Synthesia, London, 2 Juli 2025.-JUSTIN TALLIS-AFP-
AI mirip dengan koki otodidak yang belajar memasak dengan membaca miliaran resep dan ulasan makanan. Ketika mendapat pesanan (prompt), dia langsung memindai “perpustakaan resep” raksasanya untuk mencari pola dan hubungan antar bahan dan langkah.
AI tidak berpikir kreatif. Ia hanya peranti memprediksi kata atau instruksi apa yang paling mungkin mengikuti kata sebelumnya. Seperti merangkai puzzle.
Hasilnya adalah hidangan (output) yang disajikan. Namun, kadang hidangan itu kurang enak atau salah karena buku resepnya tidak lengkap atau bias. AI tidak pernah belajar tentang semua jenis masakan. Ia tidak merasakan. Ia tidak mengerti “enak” secara personal. Ia mengarang. Terkadang, AI membuat bahan atau langkah yang tidak ada agar resepnya terlihat utuh.
Kasus seperti kutipan fiktif tersebut terjadi karena hal ini: AI bekerja dengan mengenali pola dan memprediksi. Tapi tidak memiliki pemahaman sejati seperti manusia.
Sebagai penanganan ancaman terhadap integritas akademik itu, Wakil Rektor Bidang Pendidikan NTU Tan Ooi Kiang mengatakan bahwa NTU membatasi penggunaan AI.
Mereka mengamati dan memilah AI terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah model AI itu aman untuk digunakan di kelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: