Fenomena Perceraian di Kalangan Guru: SK Diterima, Suami Dilepas

ILUSTRASI Fenomena Perceraian di Kalangan Guru: SK Diterima, Suami Dilepas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Maka, kalau hubungan lebih banyak menambah luka daripada bahagia, evaluasi pun dilakukan. Dan, jika beban (cost) lebih besar daripada manfaat (benefit), keputusan untuk pamit jadi makin menggoda. Tidak emosional, hanya realistis.
Ketiga, identitas. Dalam teori identitas sosial (Tajfel dan Turner), manusia selalu membentuk identitas baru ketika bergabung dengan kelompok sosial baru. ASN, misalnya. Mereka dapat pengakuan, jabatan, bahkan panggilan Bu Guru yang kini terdengar lebih mentereng, bergengsi.
Kalau pasangan tidak ikut tumbuh, bahkan justru jadi batu sandungan, jarak akan terbentuk. Awalnya perbedaan, lalu jadi pertentangan.
Dari kacamata sosiologi, fenomena itu tak lepas dari konsep mobilitas sosial vertikal yang dijelaskan Pitirim Sorokin. Ketika satu pihak dalam keluarga mengalami kenaikan kelas sosial –seperti dari guru honorer menjadi ASN– sedangkan pasangannya tetap di tempat, jurang komunikasi mulai terbentuk.
Yang satu mulai bicara soal cicilan rumah dan mobil baru, yang lain masih sibuk pikir beli pulsa dan token listrik. Niatnya bukan sombong. Namun, ya itu... beda sudut pandang, beda pula harapan dan ritme hidupnya… goyah lagi.
Yang sering jarang dibahas adalah fase adaptasi dan transisi. Seorang guru honorer yang dulu hidup pas-pasan tiba-tiba punya penghasilan tetap, jaminan pensiun, dan bahkan bisa kredit motor tanpa penjamin.
Di sisi lain, sang suami yang selama ini dominan dalam pengambilan keputusan kini merasa tersisih. Apalagi, jika latar belakang keluarga, pendidikan, atau pekerjaan suami tidak mendukung relasi yang setara. Konflik pun tinggal menunggu waktu.
Lantas, salah siapa? Tidak perlu buru-buru mencari siapa yang salah. Sebab, bisa jadi yang salah bukan orangnya. Melainkan, perangkat dan sistem pendukung yang lemah. Misalnya, di mana peran instansi pemerintah saat transisi itu terjadi?
Idealnya, pemerintah tidak hanya mengurusi SK dan slip gaji. Tapi, juga konseling keluarga, pelatihan komunikasi antar pasangan, dan ruang diskusi yang sehat untuk guru-guru muda. Mereka butuh adaptasi, butuh bimbingan, bukan hanya secara administrasi, melainkan juga psikologis dan relasional.
Bayangkan, jika setiap guru yang menerima SK juga mendapat pengantar hidup baru, semacam panduan pembekalan keluarga, bukan cuma orientasi kerja. Ada psikolog, ada tokoh masyarakat, ada pasangan senior yang inspiratif, yang berbagi kisah tentang naik-turun pernikahan mereka. Mungkin, akan banyak keputusan emosional yang bisa dicegah.
Tokoh agama dan masyarakat juga jangan hanya muncul saat akad dan resepsi. Tugas mereka tidak hanya mendoakan langgeng, menjadi keluarga sakinah, tapi juga mendampingi saat pernikahan diuji. Tidak semua pernikahan bisa diselamatkan, tapi banyak pernikahan bisa pulih kalau diberi ruang bicara.
Masyarakat pun perlu belajar untuk berhenti berprasangka dan menghakimi. Sebab, tak semua perceraian lahir dari ego atau pembangkangan. Ada yang bercerai karena sudah terlalu lama menanggung luka. Ada pula yang memilih pisah karena ingin menyelamatkan anak-anak dari pertengkaran yang terus terjadi, yang tak berkesudahan.
Tentu, semua itu tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama. Islam memandang rumah tangga sebagai ikatan suci yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah SAW bersabda, ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Dawud). Artinya, meski dibolehkan, perceraian adalah jalan yang paling tidak disukai Allah.
Karena itu, menjaga dan mempertahankan pernikahan menjadi bentuk ibadah, selama masih ada celah untuk memperbaiki. Rumah tangga bukan tentang siapa yang lebih tinggi, melainkan siapa yang lebih siap untuk memahami dan menenangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: